Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Ketika Sekolah Kita Berwatak Anti-Revolusi Mental

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pelaksanaan UN tingkat SMA sederajat baru-baru ini telah dicemari praktek mentalitas menerabas.Itulah mentalitas menghalalkan segala jalan pintas haram demi mencapai tujuan.

Agar siswa lulus UN dengan nilai bagus, maka jalan pintasnya adalah mendapatkanbocoran soal atau jawabannya. Ada dua cara yang ditempuh yaitupertama, mendapatkan bocoran soal-soal melalui jaringan internet, seperti diduga terjadi di NAD dan DIY.Kedua, mendapatkan bocoran kunci jawaban dari sumber “tak resmi”, sepertididuga terjadi di Medan.

Kejadian seperti itu memang bukan hal baru.Seperti dilaporkan Jawa Pos (17/4/2015), hal serupa sudah terjadi sekurangnya sejak tahun 2009.Tapi kasus 2015 ini lebih menyesakkan karena terjadi saat gagasan “revolusi mental” dicanangkan “mulai dari sekolah”.Kejadian itu telah menyematkan watak anti-revolusi mental pada sekolah kita.

Mentalitas Menerabas

Merujuk naskah aslinya (“Revolusi Mental”, Kompas, 10/4/2014), inti “revolusi mental” yang digagasPresiden Jokowi adalah perubahanmendasar mentalitas bangsa dari “mentalitas menerabas” menjadi “mentalitas menghargai proses yang benar”.

Mentalitas menerabas telahmenyuburkan perkembangan dampak negatifliberalisme di segala bidang.Indikasinya adalah pembentukan sikap mental triple-helix koruptif, kolutif, dan nepotistik (KKN) secara masif di bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Jokowilalu menunjuk lembaga sekolah sebagai wahana strategis revolusi mental.Dia berkeyakinan, melalui pengaturan komposisi bobot (%) aspek mentalitas (karakter dan budi-pekerti) dan rasionalitas (sains) dalam kurikulum (SD 80 : 20; SMP 40 : 60; SMA 20 : 80), nicaya akan lahir“generasi baru” dengan mentalitas “menghargai proses yang benar”.

Dalam rangka itu, seperti ditegaskan Mendikbud Anis Baswedan, guru diposisikan sebagai ujung tombak revolusi untuk perubahan mentalitas bangsa (Sinar Harapan, 22/12/2015).Dengan kata lain guru adalah kunci keberhasilan revolusi mental.

Tapi nyatanya, seperti terbukti di lapangan, mentalitasmenerabaslah yang masih meraja.Menjelang UN guru kasak-kusuk mencari bocoran soal atau kunci jawaban.Karena guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari.Murid lebih parah karena rela membayar berapapun untuk sebuah jalan pintas.

Perilaku “menerabas”itu bukanlah kasus akut, melainkan gejala kronis di semuatingkatan sekolah ( SD, SMP, SMA) di Indonesia.Terlebih ketika tingkat kelulusan menjadi indikator utama kinerja (dan gengsi) sekolah, maka segala cara dihalalkan untuk mendongkraknya.

Bahkan tidak hanya dalam rangka UN, sejak pelaksanaan ulangan tengah semester (UTS) dan akhir semester (UAS) gejala serupa sudah teramati.Sudah jamak kalau guru melatihkan soal-soal yang nantinya akan keluar dalam UTS atau UAS.

Pada akhirnya murid hanya dicekoki pengetahuan untuk menjawab soal-soal ujian di atas kertas.Bukan dibekali pengetahuan untuk menjawab masalah-masalah kongkrit dalam hidup sehari-hari. Kemana gerangan perginya watak revolusi mental itu?

Modal Sosial Kepercayaan

Jika gejala mentalitas menerabas itu tak diberantas, maka sekolah akan menjadi lahanterbaik untuk pembibitan mentalitas KKN.Sehingga mentalitas birokrat,anggota parlemen, dan pengusaha kita di masa depan pasti tidak lebih baik dari sekarang.

Karena itu Mendikbud sebaiknya segera mengevaluasi langkah revolusi mental di sekolah.Fokusnya, sesuai gagasan asli Jokowi ( “Revolusi Mental”, Kompas, 10/4/2014), haruslah penguatan mentalitas bangsa, yaitu “kepercayaan” (trust), sebagai “modal sosial” (social capital) utama pembangunan.

Lembaga sekolah kita kini tak memiliki cukup modal kepercayaan itu.Terbuktu, untuk tingkat SMA misalnya, kalangan PTN meragukan nilai UN dan cenderung menolaknya sebagai dasar seleksi penerimaan mahasiswa baru.PTN lebih percaya pada ujian masuk yang dilaksanakan sendiri.

Pemulihan modal kepercayaan itu kini sangat mendesak.Ini tak akan tercapai melalui pengaturan bobot aspek mentalitas dan rasionalitas dalam kurikulum. Ini bukan masalah kurikulum melainkan sistem pendidikan.

Sistem pendidikan (dasar dan menengah) itulah yang harus diubah secara sistemik agar berorientasipembentukan modal kepercayaan, pada aras individu (murid dan guru) dan institusi sekolah.

Langkah yang perlu dilakukan segera, pertama, adalah penerapan indeks integritas (kejujuran) sekolah yang telah diwacanakan Mendikbud Anis Baswedan.Namun indeks itu sebaiknya bukan indeks berindikatortunggal , yaitu hanya berdasar pola jawaban soal UN, melainkan indeks komposit dengan sejumlah indikator.

Untuk tingkat SMA misalnya, ada dua lagi indikator dasar integritas yaitu konsistensi nilai UAS (3 tahun) dengan nilai Ujian Sekolah dan nilai UN, dan konsistensi antara nilai UN dan nilai mahasiswa PTNasal sekolah tersebut pada tahun pertama.

Indeks integritas ini akan memaksa institusi sekolah berperilaku jujur, karena bermuara pada reputasi moral yaitu “baik” atau “buruk”.Jika “buruk” maka “hukuman” administrative dan sosial sudah menanti.

Kedua, secara simultan menerapkan indeks profesionalitas guru.Sulit mengharapkan integritas sekolah akan tinggi, jika profesionalitas guru rendah.Indikator profesionalitas guru dapat dikembangkan dari unsur-unsur kompetensi guru (pedagogi, profesi, keilmuan, personalitas, sosial) sebagaimana diatur UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen.Indeks profesionalitas akan memaksa guru merevolusi mental secara mandiri.

Jika nilai kedua indeks itu tinggi, niscaya modal sosial kepercayaan sekolah akan tinggi pula.Berarti revolusi mental telah bekerja.Sehingga kita punya alasan untuk selalu bergembira saat memperingati Hardiknas setiap tanggal 2 Mei. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline