Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Begini Pemilihan Langsung Tanpa Politik Uang

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan langsung tanpa politik uang dan tanpa konflik horizontal adalah pengalaman faktual saya kemarin malam.Ini betul-betul anti-tesis dari klaim Koalisi Merah Putih, yang ngotot bilang bahwa pemilihan langsung sarat dengan politik uang dan memicu konflik horizontal dalam masyarakat.

Pemilihan yang saya ikuti ini adalah pemilihan Ketua RT.Tepatnya RT 008/RW 010 Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.Dilaksanakan hari Minggu, 21 September 2014, pukul 19.30-selesai.Bagi saya, ini sangat spesial, karena untuk pertama kalinya diundang ikut pesta demokrasi pemilihan Ketua RT, setelah hampir 20 tahun bermukim di RT ini.

Kegiatan pemilihan Ketua RT ini sendiri diberi tagline “Peremajaan Pengurus RT”.Mungkin, maksudnya, agar orang sepuh memlapangkan jalan bagi kaum muda untuk menjadi pengurus RT.

Kegiatan dihadiri oleh Ketua RW dan jajarannya, Ketua RT dan jajarannya, pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), serta warga RT 008, sebagai pemilik suara, semuanya laki-laki.Semua hadirin terlebih dahulu mengisi daftar hadir, sebelum dipersilahkan mengambil tempat duduk sesuai status masing-masing.Saya sendiri duduk di barisan tempat duduk rakyat, pemegang kedaulatan.

Tepat pukul 19.30, acara dibuka dengan ucapan selamat datang dan dilanjutkan dengan doa oleh Pak Mas (disamarkan), Ketua Panitia Pemilihan Ketua RT, yang juga seorang ustad dan guru ngaji.Setelah itu, dilanjutkan dengan penjelasan singkat mengenai tata-cara pemilihan Ketua RT kali ini.

(Sementara itu sajian buah-buahan dan minuman sudah terhidang di meja panitia dan Pak RW, tapi warga belum kebagian)

Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan dari Pak RW tentang syarat-syarat maha berat menjadi Ketua RT.Dijelaskan bahwamenjadi Ketua RT harus dari hati yang ikhlas karena walaupun sekarang digaji tapi, ya, hanya sekadarnya lah; bahwa Ketua RT harus bekerja 24 jam sehari karena masalah warga tak kenal waktu; bahwa Ketua RT harus melayani semua warga tanpa pandang bulu (maksudnya: bulu pendek atau panjang, lurus atau keriting, hitam atau pirang, halus atau kasar, semua haarus dilayani sama rasa); bahwa kalau ada tawuran warga usahakan supaya dibubarkan saja (maksudnya: jangan malah ikut tawur); bahwa kalau ada pria asing mau masuk rumah wanita tengah malam, maka sebaiknya dicegah, jangan ditunggui sampai kejadian berbuat mesum lalu digrebek (Masyaallah, dosa membiarkannya terjadi,kata Pak RW); bahwa dan seterusnya dan seterusnya.Pak RW mengambil waktu 45 menit, sampai saya mengangguk-angguk terkantuk-kantuk. (Saya khawatir Pak RW menganggap saya manggut-manggut setuju).

Kemudian dilanjutkan satu dua patah kata pertanggungjawaban dari Pak Mah, Ketua RT 008 yang akan habis masa kekuasaannya.Tidak banyak kata-kata, kecuali menggaris-bawahi bahwa menjadi Ketua RT lebih banyak dukanya daripada sukanya, terutama menyangkut keuangan yang nombok melulu.“Jadi gak perlulah politik uang segala kalo mau jadi Ketua RT.Menjadi Ketua RT itu amal ma’ruf nahi munkar,” kata Pak RT menutup sambutannya.

Setelah menyampaikan kata pertanggung-jawaban, lalu serah terima dokumen dari Pak RT ke Pak RW, disaksikan panitia dan warga yang hadir.Pakai acara difoto, lengkap dengan aksi salaman sambil senyum. Dan bersamaan dengan itu, Ketua Panitia mengumumkan bahwa “Ketua RT 008 sekarang demisioner dan diserahkan ke bawah Pak RW!”.

(Bersamaan dengan itu kepada warga dibagikan snack dalam bungkusan plastik bening. Isinya air mineral gelas, sepotong pisang goreng, sepotong kue bolu, dan selonjor arem-arem).

Acara kemudian masuk ke penjaringan calon Ketua RT yang riuh-rendah, tapi tak membuahkan hasil.Pak Mas, selaku Ketua Panitia mulai kebingungan, sehingga salah seorang pengurus LPM, Pak Ek(samaran) mengambil alih pengarahan pemilihan.“Bapak-bapak sekalian, kalau demokrasi itu harus ada yang dipilih!” teriaknya.“Ayo, siapa yang mau diusulkan, atau mengajukan diri!”

Barulah muncul nama-nama.Semuanya terjaring lima nama, termasuk Pak Mah, Ketua RT inkamben.“Naaah, ini baru benar.Tadi saya bilang, kalau demokrasi itu harus ada yang dipilih.Artinya calon harus lebih dari satu orang.Kalau calon cuma satu orang, itu bukan demokrasi namanya.Itu mufakat namanya!” katanya meyakinkan warga.

(Dan kepala saya mendadak agak pening begitu diberitahu bahwa mufakat ternyata bukan demokrasi.Berarti saya salah mengartikan Sila ke-4 Pancasila kita dari dulu)

Celakanya, walau sudah diingatkan bahwa mufakat bukan demokrasi, ternyata empat orang calon, kecuali Pak Mah, langsung menyatakan tidak bersedia, dan dengan mufakat memilih Pak Mah untuk menjabat sebagai Ketua RT lagi.

Pak EK, pengurus LPM tidak mau menyerah.Calon terus dijaring, supaya syarat demokrasi terpenuhi.Akhirnya, terjaring paksa lagi dua orang calon baru, yaitu Pak Mas yang merupakan Ketua Panitia, dan Pak Syu.“Nah, sekarang saya mau tanya sama warga,” kata Pak Ek, “perlu atau tidak perlu gak kita tanya kesediaan tiga orang calon ini untuk dicalonkan?”“Tidak perluuu, langsung piliiih!” serentak warga menjawab.Disambung dengan tawa riuh rendah.

(Waduh, Pak Ek, ini mah bukan demokrasi, tapi tirani mayoritas.Kepala saya pening lagi)

Pak Mas berusaha untuk protes.“Tidak boleh nanya, Pak!” kata Pak Ek.“Eh, saya bukan mau nanya, saya mau jawab!” sergah Pak Mas.Tawa warga berderai lagi.

Tapi Pak RW orang yang bijak, bisa melihat kekeliruan demokrasi, lalu mengambil alih pimpinan pemilihan. “Bapak-bapak sekalian, kita harus tanya pada para calon ini.Bersedia atau tidak.Harus iklas bersedia.Jangan seperti di RT lain.Dipaksa untuk dipilih.Setelah terpilih, eeh, malah langsung menyerahkan jabatannya kepada RT lama. Lha, apa gunanya pemilihan kalau begitu,” urai Pak RW.

Singkat cerita, Pak Mah menyatakan bersedia untuk dipilih, dan bahkan sempat berkampanye untuk menggalang kekompakan warga membangun RT 008.Giliran Pak Mas ditanya kesediaannya, langsung menolak:“Saya tidak bersedia.Kalau saya dipilih jadi Ketua RT, paling juga cuma bisa ngajari ikroh sama warga!” katanya, diikuti tawa warga yang sama tahu Pak Mas adalah guru ngaji untuk anak-anak.Pak Syu, tanpa basa-basi, langsung menyatakan penolakan.Jadi, tinggal Pak Mah seorang, sang inkamben, yang jadi calon tunggal.

“Berarti warga RT 008 mufakat memilih kembali Pak Mah sebagai Ketua RT yang baru?” tanya Pak RW minta jawaban tegas dari warga.“Setujuuu, mufakaaat!” jawab warga yang hadir serentak.“Berarti Pak Mah adalah Ketua RT 008 yang baru yang terpilih secara demokratis!” simpul Pak RW menutup sesi pemilihan langsung Ketua RT.Selanjutnya adalah acara sumbang-saran dan tanya-jawab warga dengan Pak RT yang baru.

(Pak Mah sebenarnya sudah berumur, jenggot lebatnya sudah memutih, sehingga tagline “Peremajaan Pengurus RT” betul-betul harus dipertanyakan.Tapi, ya, sudahlah, yang penting pemilihan berlangsung secara demokratis banget.Dalam kasus ini, saya beda pendapat dengan Pak Ek.Mufakat adalah wujud paling agung dari demokrasi.)

Pemilihan Ketua RT 008 yang saya ikuti ini betul-betul tanpa politik uang, dan sama sekali tidak memicu konflik horizontal di antara warga RT 008.Pemilihan ini benar-benar penuh kegembiraan.Mungkin inilah miniatur paham “demokrasi adalah kegembiraan” yang sering dilontarkan Pak Jokowi.Kepada para anggota DPR, khususnya Koalisi Merah Putih, cobalah belajar demokrasi dari ribuan perisiwa pemilihan Ketua RT.Di situ akan ditemukan kegembiraan demokrasi, kegembiraan menggunakan hak pilih langsung, tanpa politik uang, tanpa konflik antar warga masyarakat. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline