Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Meneliti Itu Gampang #01: Gawat! Kompasianer Lebih Suka Muceng Ketimbang Ngakak

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini fakta. Hasil survei beneran. Data ada di Kompasiana.com. Setelah dikumpul, diolah, dan ditafsir, hasilnya seperti itu.

Cerita survei selengkapnya, begini. Awalnya kerisauan pribadi. Kenapa kalau saya nulis humor, kok sedikit yang baca. Tapi kalau nulis politik, nah, lebih banyak yang baca.

Timbullah kreativitas iseng. Saya coba periksa 30 postingan "politik" tanggal 24-25 September ke belakang, Periksa urut kacang saja, dari atas ke bawah. Lalu saya hitung rata-rata hit atau keterbacaannya, ketemu: 233 hit. Artinya tiap postingan "politik" dikonsumsi atau dibaca 233 kali.

Cara serupa saya lakukan pada 30 postingan "humor". Ternyata rentang waktu untuk mendapat 30 postingan itu lebih lama, 21-25 September. Dihitung rata-rata hit-nya, ketemu 134 hit. Artinya tiap postingan humor dibaca 134 kali.

Perhatikan. Untuk mendapat 30 postingan, hanya perlu 2 hari untuk politik, tapi 5 hari untuk humor. Artinya,"produksi" postingan politik lebih tinggi dibanding humor.

Sekarang tafsirnya. Mengapa disimpulkan Kompasianer lebih suka "muceng" (muka kenceng) daripada "ngakak" (tertawa)? Karena postingan politik sebenarnya lebih berat, perlu mikir dikit, sambil dahi kerinyit. Setel muka kenceng, muceng, begitulah. Nah, lihatlah bukti data produksi dan konsumsi postingan politik di atas. Ternyata  lebih banyak Komposianer yang memutuskan untuk muceng, kan?

Bandingkan dengan data produksi dan konsumsi humor. Per harinya lebih sedikit. Artinya lebih sedikit Kompasianer yang memutuskan untuk ngakak, kan?

Sekarang, penjelasan, atau istilah kerennya, analisis (biar terkesan ilmiah). Mengapa Kompasianer lebih suka muceng ketimbang ngakak? "Oh, itu tandanya kesadaran dan partisipasi politik Kompasianer sudah tinggi," begitu jawaban pengamat politik negara "Netizenesia", mungkin.

Jawaban itu, mungkin saja benar. Tapi ada dua penjelasan lain yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, penjelasan anekdotal. Mulai dari pertanyaan: "Mengapa panggung Srimulat di Taman Ria Senayan tempo dulu tutup?"  Jawabannya: "Karena di sebelahnya muncul panggung wakil rakyat yang jauh lebih lucu." Nah, daripada bayar untuk nonton Srimulat yang gak lucu lagi, kan lebih baik gratis nonton wakil rakyat yang lucu ke ubun-ubun?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline