Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Revolusi di Malinau: Bukan dari "Desa" tapi "Atas-Desa"

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Percaya sepenuhnya kepada masyarakyat desa” (h. 13).Itulah nilai lebih Yansen TP, Bupati Malinau, Kalimantan Timur.Sebuah nilai yang sungguh langka di lingkungan pemerintahan daerahkini.

Nilai itu merupakan buah otokritik atas 16 tahun kiprahnya sebagai aparat pemerintah sdi Malinau.Nilaiyang kemudian mendarah-daging dalam dirinya.Lantas diaktualisasikan menjadi gerakan pembangunan “dari-untuk-oleh rakyat” yang spesifik Malinau.

Untuk konteks Malinau, menurut Yansen, paradigma-paradigmapertumbuhan, pemerataan, danpembangunan berpusat pada manusia -- yang disinergikan dengan pendekatan partisipatoris dan teknokratis -- telah gagal mencapai tujuan hakiki pembangunan yaitu peningkatan kesejahteraan rakyatsecara menyeluruh .Hasilnya justru kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin lebar.“Kelompok yang lemah menjadi kian lemah, sementara kelompok yang kaya semakin kaya dan kuat” (h. 3)

Karena itu, dalam posisi sebagai bupati, Yansen kemudian merumuskan dan menjalankan sebuah solusi cerdas yang disebutnya “Revolusi dari Desa”, dengan nama sandi “Gerdema” (Gerakan Desa Membangun).Inilah gerakan pembangunan yang menempatkan masyarakat desa sebagai “subyek”.Artinya, sebagai pelaku utama pembangunan dengan nilai modal sosial berupa keterpercayaan dan energi sosial-kreatif yang tinggi.

Gerdema dengan demikian adalah anti-tesis arus utama gerak pembangunan pedesaan Indonesia kini yang cenderung memposisikan masyarakat desa sebagai “obyek”,yang harus sepenuhnya tunduk pada pemerintah “atas-desa” .Pada titik ini, Yansen telah berani melawan arus utama pemerintahan dengan menempuh kebijakan yang “menguntungkan masyarakat, tapi tidak bagi kepentingan kekuasaan” (h. 39).

Dari “Atas-Desa”

Konsep Gerdema sebagai “Revolusi dari Desa”telah diklaim berhasil di Malinau, dan mendapat apresiasi dari banyak pihak.Karena itu, pembaca tentu berharap memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang hal tersebut dari buku ini.

Sayang, pembaca agaknya harus siap merabat harapan.Sebab paparan Gerdema dalam buku ini sebenarnya bukan tentang “Revolusi dari Desa” jika dilihat dari dua sisi.

Pertama, dari sisi konsep, istilah “Revolusi dari Desa” yang sangat seksi itu perlu dipertanyakan secara kritis.Tiga alasan yang disodorkan untuk penggunaan istilah itu, yakni penerapan prinsip-prinsip“mulai dari gerakan di desa”, “percaya pada rakyat desa”, dan “pengelolaan anggaran oleh desa” dalam proses pembangunan (h. 41-44), kurang meyakinkan.

Terlebih jika dikaitkan dengan lima butir inti “Revolusi dari Desa” yaitu: penerapan pendekatan pembangunan terpadu partisipatif-teknokratik di desa; penyerahan urusan dari perangkat teknis daerah kepada pemerintah desa; perumusan, pelaksanaan, danevaluasi pembangunan oleh masyarakat desa;penyerahan peengelolaaan dana pembangunan sepenuhnya kepada desa; dan penyerahan pelaksanaan otonomi penuh di desa.

Terbaca di situ bahwa yang terjadi sebenarnya bukan perlawanan sosial masyarakat desa (bawah) yang gelisah dan marah untuk “merebut” kelima butir inti tersebut.Yang terjadi sesungguhnya adalah langkah radikal elit kekuasaan atas-desa, dalam hal ini Bupati Malinau, untuk membagi unsur-unsur“otonomi daerah” kepada “desa”, sedemikian rupa sehingga terbentuk “otonomi desa”.

Gejala tersebut mungkin boleh disebutsebagai rintisan “Gelombang Kedua Otonomi”.Maksudnya, langkah penyerahan sebagian urusan dari daerah (kabupaten) ke desa, setelah sebelumnya (Gelombang Pertama)penyerahan dari pusat ke daerah ( UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999).

Jadi yang terjadi di Malinau sesungguhnya adalah “Revolusi dari Atas-Desa”.Revolusi yang diinisiasi dan digerakkan oleh penguasa atau pemerintah atas-desa (kabupaten), demi memberi ruang gerak otonom bagi masyarakat desa untuk “berubah, maju, dan sejahtera” atas inisiatif dan upaya sendiri (h. 12, 14)

Pemicunya adalah “kemarahan” seorang bupati menyaksikan gejala kemiskinan struktural yang semakin masif di Malinau, di tengah kegiatan eksplorasi kekayaan sumberdaya alam (kayu, hasil hutan, batubara) yang ternyata hanya memperkaya sekelompok kecil pengusaha.

Sangat jelas bahwa peran faktor pemimpin/kepemimpinan sangat sentral dalam proses-proses Gerdema (Bab 4).Sehingga timbul pertanyaan:“Jika bukan karena faktor Yansen, apakah Gerdema akan ada dan berlanjut di Malinau?”

Kedua, dari segi isi,buku ini tidak memberikan informasi empirik tentang bagaimana proses Gerdema berlangsung (in action) .Ada paparan “Rekam Jejak Sebelum dan Setelah Gerdema” (Bab VII), tapi yang disajikan adalah dataevaluasi hasil pembangunan (12 indikator).Data yang membanding kondisi “sebelum” dan “sesudah” Gerdema (Tabel 1, h.165-9) dan pemahaman/persepsimasyarakat dan aparat (Ya/Tidak) terhadap enamaspek(perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian/pengawasan, pelaporan, dampak)Gerdema (Tabel 2-7, h. 171-6) .Sekali lagi, tanpa penjelasan faktual tentang proses-proses Gerdema berlangsung sehingga mencapai hasil/dampak yang dilaporkan itu.

Sebagai contoh, dampak terhadap perekonomian desa Malinau.Hanya disebutkan bahwa setelah Gerdema berjalan setahun (2012),perekonomian desa telah “berkembang lebih baik dan cepatkarena orientasi pembangunan yang berpihak kepada desa serta peredaran uang yang cukup besardi desa.” (h. 170).Klaim yang sulit dipercaya, karena tak didukung data memadai.

Buku ini agaknya lebih tepat dilihat sebagai “cetak-biru” Gerdema Malinau.Ia aalah acuan dan panduan gerak bagi ketiga pemangku pembangunan (pemerintah, masyarakat, wiraswasta) di sana.

Itu jelas terlihat dari struktur dan isi buku.Ketujuh babnya lebih dimaksudkan untuk menjelaskan Gerdema mulai dari latarbelakang (Bab 1), teknik perencanaan pembangunan (Bab 2), kerangka kerja (Bab 3), peran kepemimpinan,(Bab 4), profil dan kelembagaan desa sebagai fokus (Bab 5), mekanisme kerja berikut indikator keberhasilan (Bab 6), dan evaluasi hasil (Bab 7).

Kritik di atas bukan untuk menegasikan nilai “hebat” Gerdema.Ia tetap sebuah paradigma pembangunan berbasis “kepercayaan penuh pada masyarakat desa” ( “dari-oleh-untuk masyarakat desa”) yang genuine.

Lalu “Gelombang Kedua Otonomi”, yaitu penyerahan sebagian urusan dari daerah (kabupaten) kepada desa sebagai konsekuensi paradigma tersebut, juga harus dicatat sebagai sebuah terobosan yang bukan sajamendahului“masa”-nya (terjadi sebelum UU No. 6/2014 tentang Desa), tetapi juga sangat berani dan kreatif.Juga tulus, karena tak mudah bagi seorang “Raja Lokal” (Bupati/Walikota) berbagi kekuasaan (otonomi) dengan “Raja Kecil” (Kepala Desa) di bawahnya.

Relevansinya

Buku ini muncul pada saat yang sangat relevan dan konteks sosial-politik yang pas. Karena ia dapat langsung mengisi kekosongan konsep yang aplikatif untuk, pertama,mendukung implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa.Kedua, secara khusus, mendukung pelaksanaan program “Gerakan Desa Mandiri”(3,500 desa mulai 2015) dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Fakta bahwa Kabupaten Malinau telah berhasil mengalokasikan dana sebesar Rp 1.2-1.3 milyar/desa/tahun (h. 165) – hal yang konsisten dengan UU No. 6/2014 -- bisa menjadi pertimbangan bagi Kementerian Dalam Negeri untuk menetapkan Malinau sebagai “Kabupaten Model Otonomi Desa”.Ke Malinau-lah pemerintah dan masyarakat desa kabupaten/kota laindapat mempelajari cara implementasi UU Nomor 6/2014 yang tepat, agar dapat meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.Tentu, tiap daerah harus merumuskan “gerbades” –nya sendiri, sesuai konteks sosial, ekonomi, politik dan budayanya.

Saran

Buku ini layak menjadi salah satu rujukan untuk kegiatan terkait pembangunan masyarakat desa mandiri.Kalangan pejabat pemerintah daerah dan pusat, mahasiswa sekolah/institut pemerintahan, kalangan LSM, dan peneliti masalah-masalah pembangunan pedesaan sangat disarankan untuk membacanya.

Namun ada empat hal yang agak mengganggu, yang mudah-mudahan bisa diperbaiki, seandainya buku ini akan dicetak-ulang.

Pertama, soal ketiadaan informasi/data empiris tentang “bagaimana proses Gerdema berlangsung di Malinau”.Misalnya, paling tidak, berkenaan dengan tiga komitmen Gerdema yaitu pariwisata, pertanian (dalam arti luas),dan rumah sakit daerah.Karena tidak ada data, pembaca kritis tidak mudah percaya pada klaim kehebatan Gerdema, sekalipun sudah diapresiasi banyak pihak.

Kedua, soal penggunaan istilah “partisipasi masyarakat”.Konsep ini sebenarnya adalahkritik pada praktek pembangunan sentralistik (top-down).Karena Gerbades menempatkan “masyarakat desa” sebagai subyek utama pembangunan, dengan sendirinya konsep “partisipasi” tidak relevan lagi. Jika harus digunakan, mungkin lebih tepat menyematkannya pada pemerintah dan swasta.

Ketiga, masalah teknis redaksional yaitu ketidak-sinkronan antara nomor tabel (Tabel 2-6) dengan penyebutan nomor tabel dalam teks penjelasan di bawahnya, sehingga mengganggu kenikmatan membaca.

Keempat, gambar sampul depan yang mengesankan “kartu ucapan”, terlalu lembut untuk sebuah buku bertema “revolusi”.Lagi pula, kalau dipikir-pikir, perlu 40 hari untuk telur bermetamorfosis menjadi kupu-kupu muda, yang akan mati setelah umur 20 hari.Rasanya, ini bukan metafora yangtepat untuk masyarakat desa Malinau, bukan?(*)

Data Buku

Judul:Revolusi dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Penulis: Dr. Yansen TP, M.Si

Penerbit:PT Elex Media Komputindo

Kota Terbit: Jakarta

Tahun Terbit: 2014

Tebal Buku: 180, xxviii, lampiran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline