Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Maaf, Tak Ada "Revolusi dari Desa" di Malinau

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada "revolusi dari desa"  di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Itulah kesimpulan saya, setelah tuntas membaca buku karangan Bupati Malinau Yansen TP, "Revolusi Dari Desa Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat".

Yang ada, menurut saya, justru "revolusi dari atas-desa".  Yaitu revolusi kepemerintahan (governance) yang diprakarsai dan digerakkan oleh elit kekuasaan atas-desa, dalam kasus ini Bupati Malinau.

Inti "revolusi dari atas-desa" di Malinau itu adalah pembentukan "otonomi desa".  Caranya, Pemerintah Kabupaten menyerahkan sebagian "kue otonomi daerah" kepada Pemerintah Desa. Khususnya di tiga bidang kewenangan ini:  urusan berbagai bidang teknis kepemerintahan/pembangunan,  pembangunan desa (formulasi, implementasi, evaluasi), dan pengelolaan anggaran pembangunan (h. 45).Harus diakui, ini  memang revolusioner.

Pemicu "revolusi" itu adalah keresahan dan "kemarahan"  Yansen sendiri, dalam kapasitasnya sebagai bupati. Resah dan "marah" menyaksikan fakta kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar di Malinau. Padahal, dari pengalamannya 16 tahun sebagai aparat, pemerintah sudah "bekerja keras".

Biang keladinya, menurut Yansen, adalah absennya kemandirian desa dalam kepemerintahan, khususnya terkait pembangunan.  Sementara pemerintah atas-desa sendiri sebenarnya menderita "rabun desa".  Akibatnya, program pembangunan yang datang dari atas-desa tak bertemu dengan kebutuhan nyata masyarakat desa.

Solusinya,  menurut Yansen, adalah pembentukan  "otonomi desa".  Inilah  inti Gerbades (Gerakan Bangun Desa) di Malinau. Suatu gerakan yang "memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada rakyat"  (desa)  untuk menjalankan  pembangunan dengan prinsip "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" (h. 41, 48).

Maka, seakan terkena ajian Bandung Bondowoso, desa-desa di Malinau seketika mengalami perubahan struktural politik menjadi desa-desa otonom. Ditandai dengan keberdayaan politik desa di tiga bidang yang, untuk sementara ini (menunggu implementasi penuh UU No. 6/2014 tentang Desa), spesifik Malinau: menjalankan 33 urusan kepemerintahan, menjalankan pembangunan desa, dan mengelola anggaran desa (Rp 1.2-1.3 milyar/tahun).

Mana Hasilnya?

Lantas, setelah berjalan tiga tahun (2012-2014), wajar jika bertanya sejauh mana Gerbades telah meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi Malinau.

Untuk mengetahuinya, saya membuat matriks yang menyilangkan empat pilar pembangunan Malinau (infrastruktur, sumberdaya manusia, ekonomi rakyat/daerah, kepemerintahan) di ruang baris dan tiga komitmen Malinau (pariwisata, pertanian, rumah sakit daerah) (h. 23-39) di ruang kolom. Hasilnya diperoleh 12 sel yang harusnya berisi data empirik capaian kinerja Gerbades.  Misalnya pada sel ke-1  harus terbaca data empirik capaian pembangunan infrastruktur pendukung sektor pariwisata.  Seterusnya begitu sampai sel ke-12 (kepemerintahan x rumah sakit daerah).

Sayang, ketika matriks itu diterapkan ke isi buku, saya gagal memperoleh data empiris untuk mengisi 12 selnya.  Dengan kata lain, buku ini sama sekali tak menyajikan data empirik yang valid sebagai bukti keberhasilan Gerdema.  Selain itu juga tak menyajikan informasi empirik tentang bagaimana proses Gerdema terjadi di lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline