Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Humor Revolusi Mental #036: Sosialisme ala Warung Makan Jawa

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Warung makan Jawa asli tidak mengejar omset, atau keuntungan, atau apapun yang berbau kapitalisme. Tapi mengejar pemerataan, atau keadilan, atau apapun yang berbau sosialisme.

Itulah kesimpulan Poltak, berdasar pengalamannya 34 tahun lalu di Jogjakarta. Waktu itu, pada hari pertama kedatangannya untuk kuliah di UGM, Poltak diajak seorang senior “Batak Tembak Langsung”-nya untuk makan malam di warung makan Mbok Narsih, langganan para mahasiswa kos-kosan.

“Murah harga makanan di sini. Tak macam di Siantar atau Medan,” kata Si Senior kepada Poltak saat mengantri beli makan malam.

“Aku minta dada ayam semur sama sayur gudeg lah,” pinta Poltak pada Mbok Narsih, “Nasinya yang banyaklah,” lanjutnya.Sebelumnya, Si Senior sudah memesankan pada Poltak, agar langsung betah di Jogja maka harus lansung makan ayam semur dan gudeg Jogja yang terkenal itu.

“Biar lupa kau sama paribanmu di kampung,” kata Si Senior bercanda (Btk, pariban; Ind. putri paman).

Entah karena rakus, atau karena enak, atau paling mungkin karena dua-duanya, makanan di piring Poltak langsung tandas dalam tempo 5 menit.Segera dia bangkit dari kursinya dan mengangsurkan piringnya minta tambah kepada Mbok Narsih.

“Walaah, Maas.Ra iso, Mas. Makan jangan banyak-banyak.Cukup segitu tadi,”” Mbok Narsih menolak permintaan Poltak.

“Bah, bagaimana ini. Aku kan beli, Bu,” Poltak protes berat.

“Bah,” latah Mbok Narsih, “piye tho.Dikandani kok ya ora ngerti, yo. Anak yang lain juga beli, Mas.

“Tambahlah sikit lagi, Bu. Masih lapar aku,” Poltak mendesak dengan jurus mengiba.

“Wis, pokoke ra iso, Mas.Ini makanan sisa untuk jatah sembilan anak yang belum datang makan malam.”Mbok Narsih tegas menolak dan memberikan alasannya.

“Bah, ini warung makan atau dapur keluargakah?” Bathin Poltak mendengar alasan Mbok Narsih.

“Mas, anak baru, ya? Kalau masih lapar, makan lagi aja di warung sebelah,” tiba-tiba seorang mahasiswa pelanggan warung, yang menyaksikan adegan “Poltak Minta Tambah” itu, menyarankan sebuah solusi jitu.

“Alamaak, malu kali aku kalau sampai gitu.Tapi dipikir-pikir betul juga solusi kawan ini,” kata Poltak dalam hati.

“Di warung-warung sini setiap pelanggan seperti anggota keluarga, Mas.Tiap orang harus kebagian makanan,” lanjut SI Mahasiswa tadi.

“Pelan-pelan kau harus latih perutmu menjadi seperti perut orang Jawa, Poltak. Supaya tak mintah tambah terus macam tadi itu,” Si Senior menasihati Poltak dalam perjalanan kembali ke kos-kosan.(*)

#Moral revolusi mental-nya: “Karena punya banyak uang, tak berarti boleh membeli semua barang, sampai-sampai orang lain tidak kebagian.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline