Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Nobel Sastra untuk Penulis Humor?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Mimpi siang bolong?Sama sekali bukan.Mimpi pagi buta, ya! Soalnya artikel ini saya tulis lepas subuh.

Di antara para pemenang Nobel Sastra memang terdapat penulis yang kerap membumbui karya mereka dengan humor.Sebut misalnya, Wislawa Szymborska, penulis Polandia  pemenang Nobel Sastra 1996, yang kerap menulis puisi berbumbu humor.Atau Mo Yan, penulis China pemenang Nobel Sastra 2012, yang suka menyelipkan humor satir keseharian warga China dalam karya-karyanya.Tapi, mereka itu bukanlah penulis humor, melainkan sastrawan yang menulis novel dan puisi.

Sedangkan para penulis cerita humor? Apakah mereka dapat digolongkan sastrawan?Jika “Ya”, maka ada peluang memenangi Nobel Sastra, serenik apapun besarnya.Jika “Tidak”, maka Nobel Sastra benar-benar mimpi pagi hari bagi mereka.

Bukan Sastra?

Apakah tulisan humor tergolong karya sastra? Untuk saat ini, sepanjang pengetahuan saya, jawabnya adalah “Bukan!”.Alasannya, pertama, bab sastra dalam buku-buku pelajaran kesusasteraan dan bahasa hanya menyebut tiga jenis karya sastra yaitu puisi, drama, dan prosa berupa novel, cerpen, dan dongeng.Humor tidak pernah disebut sebagai karya sastra yang berdiri sendiri.

Alasan kedua, keputusan media massa/sosial yang tidak menempatkan humor dalam gugus sastra, tetapi dalam gugus hiburan.Tak perlu jauh-jauh, ambil Kompasiana sebagai contoh.Humor ditempatkan sebagai sub-kanal pada kanal Hiburan, bukan pada kanal Fiksi(ana) yang memuat novel, cerpen, puisi, drama, dongeng, dan cermin (essai reflektif). Pun jika baca koran-koran edisi hari Minggu, humor selalu ditempatkan di lembar hiburan bersama dengan kartun dan komik strip.

Dengan dua alasan itu, apakah salah jika saya bilang humor tidak, atau belum (?) diakui sebagai suatu karya sastra yang berdiri sendiri?Cerita humor, sejauh ini, tidaklah duduk sejajar dengan novel, cerpen, puisi, dan drama.

Karena tidak tergolong karya sastra, maka penulis humor juga tidak diakui sebagai sastrawan.Bahkan tidak punya “sebutan” sama sekali.Tidak seperti penulis novel yang disebut novelis, penulis cerpen disebut cerpenis, penggubah puisi disebut penyair, atau penulis drama disebut dramawan.Penulis humor? Humoris? Itu kata sifat, Tuan dan Puan.

Jadi, jika humor tidak diakui sebagai karya sastra, dan penulisnya bukan sastrawan, salahkah jika saya katakan Nobel Sastra untuk penulis humor adalah mimpi pagi buta belaka?

Karya Serius!

Mungkin banyak pembaca humor yang menilai humor bukanlah karya serius.Humor Cuma untuk selingan, setelah mumet baca ekonomi, politik, sains, dan filsafat.Ibaratnya, semacam kacang untuk dikunyah, saat jeda tayangan tinju.Bukan hal serius.

Sebenarnya, saya punya kekhawatiran juga jangan-jangan ada pula sementara penulis humor yang beranggapan humor bukan karya serius.Karena itu mereka menulis humor sebagai selingan semata, atau iseng, tanpa passion sama sekali.Saya khawatir, dengan mindset semacam itu, mereka bukannya keluar dengan humor tapi “horor” (lucu tapi nyakitin).

Saya harus katakan, demi sebuah martabat,bahwa humor itu sangat serius. Saya tidak perlu mengutip berbagai pernyataan dalam banyak buku tentang humor (yang, malangnya, satupun belum pernah saya baca) untuk menguatkan pernyataan ini.Cukuplah saya utarakan di sini bahwa penulis humor, seperti halnya karya sastra lain, harus memiliki energi, imajinasi, dan kreativitas tinggi untuk menciptakan “plintiran logika” lalu mengolahnya dalam struktur penceritaan yang ketat, sedemikian rupa sehingga bukannya membuat pembaca kesal atau marah tapi tergelak karena “senang tertipu”.

Jadi, jangan dikira bahwa para penulis humor di Kompasiana seperti Jati, Bain Saptaman, Ervivi, Arke, Edy Sunarto, Muhammad Armand, Gatot Swandito, Pakde Kartono, Elde, dan “Siapa lagi, ya?” tidak terkuras energinya untuk menggubah sebuah humor sepanjang 10-500 kata.Beban mentalnya berat: harus membuat pembaca tertawa (Tahu sendiri, orang Indonesia sekarang pelit tawa).Beban moralnya juga berat: jangan sampai nyakitin pembaca (karena menghina gender, suku, ras, agama, umur, profesi, nasib, dan lain-lain).(Beban finansil juga sebenarnya berat, karena menulis di Kompasiana gratisan.Tapi pahalanya besar, kalau berhasil menggelitik urat geli pembaca untuk terbahak).

Kalau tidak percaya menulis humor itu berat dan serius, boleh buktikan sendiri.Saya undang rekan-rekan Kompasioner yang artikel-artikelnya sering menghuni box Headline dan Trending Articles untuk menulis sebuah humor orisionil (bukan versi tulisan dari humor lisan milik masyarakat).Lalu publish dan lihatlah, apakah humor Anda masuk HL atau TL? (Ya, kalau “HL = Hanya Lewat” dan “TA = Tanpa Apresiasi”).

Kanal Sendiri?

Kalaupun tak diakui sebagai karya sastra, mengingat humor itu serius, maka saya masih berharap humor tidak digolongkan sebagai hiburan semata.Sebagai “penulis humor ingusan”, saya sebenarnya agak “tersinggung” dengan penggolongan itu.Bukan apa-apa, soalnya dengan begitu predikat saya menjadi “penghibur”.Dan karena jenis kelamin saya laki-laki, maka predikat lengkapnya “laki-laki penghibur”.(Alamakjaaang!!!).

Karena itu, bolehkah saya usul kepada Admin Kompasiana agar humor diberi kanal tersendiri lepas dari kanal Hiburan?Saya, dan juga teman-teman sesama penulis humor, punya komitmen dan semangat untuk membangun humor Indonesia melalui Kompasiana.Bangsa ini sedang butuh humor sehat, untuk revolusi mental keluar dari pessimisme, apatisme, egoisme, intoleransi, dan mentalitas kontra-produktif lainnya.Bukankah sangat elok jika Kompasiana berkontribusi dalam revolusi mental melalui gelak-tawa?

Saya berpikir, barangkali kami para penulis humor Kompasiana bisa pula membangun komunitas humor dunia maya.Saya bayangkan namanya “Komporsiana” (Komunitas Pecinta Humor Kompasiana), dengan motto “Connecting-Sharing-Laughing”.Untuk itu, “Para penulis humor se-Kompasiana, bersatulah!”(Tapi, tolong seruan ini tidak dikaitkan dengan seruan Karl Marx, “Working men of all caontries, unite!“).Mari kita gelitik urat geli bangsa ini! (*)

Komporsiana

CONNECTING-SHARING-LAUGHING




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline