Warga Oz tengah bersuka ria dengan kabar anyar terbunuhnya Penyihir Jahat dari Barat. Sang penyihir baik hati, Glinda (Ariana Grande-Butera) lalu muncul dan ikut bergembira bersama para penduduk, sebelum seorang gadis muda bertanya ihwal masa lalunya. Bahwa Glinda dahulu adalah teman karib Elphaba si penyihir jahat (Cynthia Erivo). Glinda lalu mengenang nostalgianya kala memasuki universitas ilmu sihir di Oz, Shiz dan hikayatnya bersama Elphaba.
Adegan tersebut adalah prolog dari Wicked (yang diberi sub-judul Part One), film musikal adaptasi drama panggung laris berjudul serupa yang pertama kali dipentaskan kurang lebih dua dekade silam. Disadur dari novel Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West yang juga merupakan karya lepas alternatif dari novel klasik The Wonderful Wizard of Oz tulisan L. Frank Baum di awal abad 20 silam.
Dari prolog adegan yang sudah digambarkan di atas, kita lalu dibawa pada suka duka Elphaba yang kerap dirundung karena warna kulitnya yang hijau, berbeda dari banyak warga Oz. Hingga pertemuannya dengan teman/lawannya Galinda (nama awal Glinda) di Shiz serta kekuatan tersembunyinya yang menarik perhatian Madame Morrible (Michelle Yeoh) rektor universitas yang menaruh harapan besar padanya.
Mengambil plot dari sudut pandang utama Glinda dan Elphaba, Wicked memberikan perspektif baru dari plot besar The Wonderful Wizard of Oz. Bagi yang fasih dengan novel atau versi filmnya yang rilis warsa 1939, tentunya familiar dengan kisah Dorothy yang tersasar ke negeri ajaib Oz dan bertemu karakter-karakter unik, di antaranya adalah Glinda yang baik hati dan penyihir barat tanpa nama yang durjana. Dalam Wicked, novelis Gregory Maguire mencoba memberikan latar kisah simpatik bagi Penyihir Jahat dari Barat yang diberi nama Elphaba. Bahwa narasi dalam Wonderful Wizard of Oz adalah sebuah propaganda, Elphaba ternyata adalah pariah yang memberontak melawan pemerintahan fasis penyihir Oz yang selama ini dianggap sebagai penyelamat negeri.
Versi film Wicked sendiri masih setia dengan pakem drama panggungnya, terutama dalam format ceritanya yang musikal. Seluruh lagu drama panggungnya pun diboyong ke versi filmnya ini, termasuk lagu masyhur Defying Gravity yang menjadi tembang krusial di adegan klimaksnya. Digawangi sutradara Jon M. Chu yang sebelumnya dikenal sukses dengan Crazy Rich Asians, Wicked adalah pertaruhan berani dari studio Universal. Mengingat film-film musikal tak lagi seberjaya dahulu, selepas La La Land, film-film musikal di luar adaptasi live action Disney, rata-rata terjerembab tak terdengar lagi gaungnya. Dari Cats yang habis dicaci maki kritikus dan gagal di pasaran hingga Mean Girls dan Joker: Folie a Deux yang menjadi korban anyar genre ini. Mengingat sukses drama panggungnya belum tentu menjamin keberhasilan yang sama di adaptasi layar lebarnya. Untungnya, Wicked adalah film musikal yang bisa dianggap memuaskan.
Selain patuh pada plot drama panggungnya, Wicked juga menampilkan sejumlah atraksi tari dan musikal yang menyenangkan di layar. Dari Popular yang menampilkan sisi centil Galinda, What is This Feeling yang menampilkan pertunjukan besar musikal dan adegan persaingan Elphaba/Galinda sampai-tentu saja Defying Gravity yang menguras emosi. Selain faktor-faktor tadi, Wicked juga menonjol dibanding musikal lainnya belakangan ini karena chemistry padu dua karakter utamanya. Bintang pop, Grande-Butera berhasil menunjukkan kekenesan Galinda yang manja dan oportunis. Mungkin sesuai dengan pencitraannya selama ini yang cocok dengan karakternya, tapi Grande-Butera patut dipuji karena ketepatannya membawakan aksi komikal yang pas ala Lucille Ball. Karakternya yang perlahan berubah menjadi lebih simpatik juga sedikit banyak menolong dinamika cerita. Tapi tentu saja, kunci dari Wicked adalah Erivo, aktris Inggris yang sebelumnya sering dihamburi puja puji di dunia teater, Erivo yang telah memenangi tiga penghargaan besar- Tony, Grammy dan Emmy berkat lakonnya di versi panggung The Color Purple ini membawakan peran Elphaba dengan luar biasa. Sulit bila kita tak dibuat empati pada Elphaba, tapi Erivo yang hanya dari tatapan matanya saja bisa membuat penonton merasakan pedihnya perjalanan hidupnya yang selalu didera cela tanpa kasih sayang akibat fisiknya yang berbeda, hingga berhasil membuat penonton berpihak padanya, perduli pada nasibnya dan bersorak sorai kala karakternya melawan kelaliman. Aksi solo Erivo kala membawakan lagu I'm Not That Girl terasa sangat mengharukan, penonton seakan ikut terenyuh pada nestapa karakternya. Tapi ia juga berhasil kala menunjukkan sisi kegembiraannya dalam lagu The Wizard and I. Sementara pemain pendukung lainnya dari aktris pemenang Oscar, Michelle Yeoh, Jonathan Bailey, Jeff Goldblum, Bowen Yang, sampai Peter Dinklage yang mengisi suara karakter profesor kambing, semuanya melengkapi porsi satu sama lain dengan baik.
Walaupun sinematografi Wicked yang cerah dan terasa begitu digital juga mungkin sedikit terkesan mutakhir, dibanding La La Land yang memakai trik agar terlihat bak disyut ala Technicolor, hal yang andainya dipakai Wicked dan bakal menambah nilai nostalgianya, mengingat tampilan Technicolor sangat melekat pada The Wizard of Oz-nya Victor Fleming dahulu. Sehingga warna-warni cerahnya terkadang tampil hambar kurang meledak di layar. Bahkan di akhir adegan Popular kala Chu mengeluarkan warna merah jambu yang kontrasnya begitu pekat, hal tersebut cukup mengganggu mata. Meskipun mungkin hal ini menjadi ciri khas Chu, yang filmografinya dipenuhi film-film berformat digital dengan warna-warna cerah dan gambar tajam, termasuk untuk film musikalnya terdahulu yang juga diadaptasi dari drama panggung, In the Heights.
Bagi penonton awam, kisah awal Wicked yang bak roman anak muda lengkap dengan cita segitiga mungkin terasa picisan, tetapi begitu memasuki intrik opresif dan kisah perlawanan Elphaba, kisahnya mulai beranjak menjadi lebih serius. Roman Wicked mungkin terkesan receh tetapi mungkin hal itu sesuai sebagai penyeimbang babak ketiganya yang lebih kelam dengan tema subversif. Puncaknya ketika fakta gamblang terungkap dan Elphaba memenuhi hakikatnya yang ditakdirkan menjadi penyihir terhebat di seantero Oz. Tapi, Elphaba bukanlah oportunis seperti Glinda, dalam adegan klimaks yang menggelegar di babak ketiga, Erivo yang seakan merasuk sebagai Elphaba berteriak lantang kala kekuatannya mulai bangkit, berseru tegas pada penguasa lalim bahwa dirinya akan melawan keras tanpa lelah dan tak ada yang bisa mengubah pendiriannya itu, termasuk Glinda yang kini menjadi sahabatnya dan diterjemahkan dengan sempurna di layar dalam adegan Defying Gravity hingga kita ikut dibawa terbang bersamanya hingga berjumpa lagi di Part Two tahun depan.
Terlepas dari warna-warni dan musiknya yang hingar bingar membahana, Wicked cukup berhasil menyampaikan pesan utamanya yang dibawakan dengan berani melalui representasi kuat Erivo dalam sosok Elphaba, yang dirundung sepanjangan akibat fisiknya hingga bakat terpendamnya yang menuntunnya untuk menjadi figur subversif melawan sosok penguasa yang sesungguhnya lemah dan menggerakkan represi masif demi status quo. Layaknya Maleficent, Joker hingga Mystique, kita kembali dibawa pada potret karakter yang sekian lama dianggap antagonis, namun kini disajikan kompleks dan menarik simpati. Dengan harapan semoga kita tak hanya menelan mentah-mentah hal yang umumnya dianggap sebagai hal buruk dan menelaahnya dari berbagai sisi. Untuk itu Wicked tak hanya menghibur tapi juga bermakna dalam. Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H