Lihat ke Halaman Asli

Kisah di Balik Lagu Tears in Heaven

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13609838561723451328

"I almost subconsciously used music for myself as a healing agent, and lo and behold, it worked... I have got a great deal of happiness and a great deal of healing from music". - Eric Clapton - Setiap lagu memiliki kisah menarik dibalik penciptaannya. Salah satu kisah dibalik lagu yang menurut saya menarik adalah kisah yang menginspirasi salah satu lagu favorit saya; Tears in Heaven dari Eric Clapton. Lagu yang pertama kali rilis tahun 1992 ini pertama kali saya dengarkan ketika saya SMP. Sebenarnya ketika saya SMP yang namanya Eric Clapton tidak begitu terkenal di kalangan remaja. Waktu itu yang terkenal adalah Nirvana, Suede, Oasis dan Pearl Jam, yang kesemuanya saya juga suka. Tapi pada suatu hari ketika saya masih SMP, saya mendengarkan lagu ini di radio dan langsung suka. Kemudian saya mencari tahu apa yang menjadi inspirasi lagu ini. Lagu yang diciptakan untuk film Rush ini diinspirasi kejadian tragis yang menimpa penyanyi Inggris ini, yakni meninggalnya anak Clapton, Conor yang berusia empat tahun. Conor meninggal sebab jatuh dari jendela lantai 53 di New York pada tahun 1991. Kesedihan yang dialami Clapton ia tuangkan dalam lagu ini. Dalam sebuah wawancara Clapton mengungkapkan bahwa dengan musik ia menyembuhkan rasa sedih yang ada di hatinya. Lagu ini adalah salah satu dari lagu tersukses Eric Clapton selain lagu-lagunya yang lain seperti Running on Faith, My Father's Eyes, I Shot the Sheriff dan Layla serta banyak lagi yang bercokol cukup lama di tangga lagu, laris manis serta memenangkan Grammy. Bagi saya pribadi lagu-lagunya Eric Clapton enak didengarkan kapan saja dan nilai plus lainnya adalah dalam konser live, ia tidak perlu penari-penari seksi yang merusak konsentrasi atau kostum mewah, ia bagaikan seorang pustakawan yang setelah mencap buku-buku tebal, hanya perlu membawa gitar dan menjadi diri sendiri sebab dengan hanya ada di panggung saja penyanyi berusia 67 tahun ini sudah cukup memberikan atmosfir musik yang menyeluruh. Menurut saya inilah yang disebut seniman sejati, sebab tidak membutuhkan hal-hal periferal yang berkilauan untuk eksis, ia hanya cukup menjadi diri sendiri. Photo credit: royalalberthall.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline