Lihat ke Halaman Asli

Tri Wahyuni

Just spread your love and be happy

Merintis Utopis Sinergisitas Teknologi dan Pendidikan di Indonesia

Diperbarui: 11 Januari 2020   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Aku ingin begini, aku ingin begitu... Ingin ini, ingin itu banyak sekali..

Semua, semua, semua...dapat dikabulkan.. Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib..."

Saya rasa, hampir semua dari pembaca akan otomatis bernyanyi saat membaca bait di atas. Ya, bait-bait tersebut adalah penggalan lirik lagu pengiring kartun Doraemon. Well,  siapa yang tidak mengenal Doraemon? Ia adalah sosok robot kucing dari abad 22 yang datang atas perintah pemiliknya untuk kembali ke abad 21 demi misi membahagiakan kakek buyut sang pemilik, yang tak lain adalah Nobita si anak manja. 

Mungkin bagi generasi Y atau milenial (lahir pada tahun 80an hingga awal 90an) yang pada masa kanak-kanaknya memasukkan Doraemon ke dalam daftar menu tontonan wajib di hari Minggu pagi, dulu sangat terkesima dan takjub bahkan menganggap bahwa keberadaan Doraemon beserta berbagai peralatan ajaibnya hanyalah sebuah fiksi belaka yang tak akan mungkin terwujud dalam kehidupan nyata. 

Namun pemikiran tersebut kemungkinan besar menjadi berbeda dengan pemikiran anak-anak generasi Z (terlahir antara tahun 1995-2010) terlebih generasi A (lahir pada tahun >2010) yang telah akrab dengan teknologi dan kemudahan akses internet semenjak lahir. 

Berbeda dengan gen Y, gen Z dan gen A yang telah gandrung teknologi sejak usia dini mungkin saja beranggapan bahwa keberadaan Doraemon di abad 22 adalah sebuah keniscayaan, karena saat ini--saat mereka menginjak usia kanak-kanak dan remaja, telah ditemukan berbagai piranti yang mirip dengan peralatan canggih milik Doraemon. Yang paling sederhana adalah "Ensiklopedi serba tahu" yang menolong Nobita mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Kini, fitur OK Google yang dengan mudah menelusuri dan menyajikan semua informasi yang dibutuhkan manusia dengan hanya sekali ucap sudah sangat umum digunakan. Robot canggih dengan tingkat kecerdasan tinggi menyerupai Doraemon yang disebut AI (Artificial Intelligence) pun sudah banyak diciptakan dan diproduksi demi kepentingan industri khususnya marketing. Akan tetapi, bagi saya pribadi yang sangat concern dalam dunia pendidikan, perkembangan teknologi yang melesat begitu cepatnya tak hanya menimbulkan euforia atas berbagai kemudahan yang ditawarkan, namun juga memunculkan berbagai pertanyaan, yang salah satunya adalah "Dapatkah teknologi bersinergi positif dan membantu perkembangan pendidikan di Indonesia?"

Sebelum menelusuri jawaban dari pertanyaan tersebut, mari kita telaah hubungan antara teknologi dan ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini sangatlah erat kaitannya dengan pendidikan. Menurut Heidegger dalam Lim (2008), teknologi berasal dari  bahasa Yunani, techne, yang berarti bukan hanya aktivitas dan keahlian menukang (membuat karya) dengan tangan, tetapi juga seni pikiran (the arts of mind) dan seni halus (fine arts). Dalam pandangan ilmu filsafat, Techne dihubungkan dengan episteme dalam Yunani kuno.  Kedua kata ini melibatkan pengetahuan. Techne melibatkan pengetahuan praktis, sedangkan episteme melibatkan pengetahuan teoritis yang eksak/pasti. Kedua pengetahuan ini mengantarkan kepada suatu "penyingkapan" apa yang tidak dapat mengemukakan dirinya-ke-hadapan (bringing forth) dan apa yang belum ada di depan kita.  Dengan kata lain, teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berkaitan satu sama lain untuk terciptanya suatu penemuan baru, yang pada umumnya diciptakan untuk kemaslahatan manusia.

Para ahli sepakat bahwa filsafat dapat memberikan nilai dan orientasi pada semua disiplin ilmu termasuk aplikasinya, yakni teknologi. Filsafat melandasi teknologi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan mengenai pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan teknologi, yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara teknologi dengan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang berkaitan dengan aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan semua itu manusia akan berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan teknologi. Logos merupakan komponen filsafat yang akan membimbing para ahli teknologi untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang rasional dengan ciri berupa harus adanya argumen-argumen yang logis. Semua  komponen tersebut bersinergi dengan aspek kajian filsafat yaitu ontologi (keapaan, hakikat), epistemologi (kebagaimanaan, cara memperoleh), dan aksiologi (kebermanfaatan) dari teknologi. Pembahasan dalam artikel ini akan lebih banyak menyentuh dan menganalisis aspek aksiologi (kebermanfaatan) teknologi terhadap dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang biasa disebut IPTEK telah melahirkan berbagai macam produk dan instrumen, yang pada tujuan awal penciptaannya adalah demi efisiensi kerja manusia, terutama di bidang industri/bisnis. Bagaimana dengan bidang pendidikan ? Penemuan komputer sebagai produk teknologi merupakan sebuah momentum yang mampu memperkaya sumber belajar peserta didik, walaupun pengenalan dalam kurikulum di sekolah-sekolah di Indonesia baru dilakukan pada akhir 90-an.  Perusahaan software komputer ternama seperti Microsoft pun baru memunculkan paket Office 365 yang lebih dikhususkan untuk tujuan pendidikan pada medio 2010, walaupun software yang diluncurkan sebelumnya pun dapat pula dan kerap kali digunakan dalam kegiatan pembelajaran, seperti Microsoft Word, Excel, Power Point Presentation, dan lainnya. Selain perangkat keras maupun perangkat lunak komputer, penemuan lain di bidang teknologi yang paling berperan dalam perubahan peradaban manusia adalah internet. Sejak ditemukan pada tahun 1969 dan mendunia pada awal 90-an, adanya koneksi internet memudahkan informasi apapun tersebar luas ke seluruh dunia dan membantu segala bentuk kegiatan manusia. 

Euforia keberadaan internet pun turut dirasakan di Indonesia. Di awal kemunculannya yang hanya dapat diselancar melalui komputer, internet menjadi lahan bisnis bagi pengusaha warnet atau warung internet yang menjamur dengan menawarkan paket-paket online nya, yang sayangnya justru marak digunakan sebagai sarang bagi pecandu game online. Kini, setelah internet dapat diakses melalui smart phone, tak banyak yang berubah mengenai fungsi internet yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia : entertainment, just for fun!  

Seperti dilansir oleh Kominfo.go.id (2018), data Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia Tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa hampir 90 persen layanan yang diakses oleh pengguna internet adalah layanan perbincangan alias chatting, disusul 87 persen untuk layanan media sosial, dan baru kemudian fitur mesin pencari (search engine) di peringkat ketiga dengan 74 persen. Salah satu dari sekian banyak hasil survei APJII tersebut juga menunjukkan pemanfaatan internet bidang gaya hidup yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan di bidang edukasi. Selain hasil survei APJII, dampak negatif penyalahgunaan internet seperti adiksi terhadap game online, pornografi, gaya hidup konsumtif, dan lain sebagainya juga memperkuat pemahaman distopis atau pandangan negatif tehadap teknologi yang alih-alih digunakan dan berperan dalam memajukan pendidikan, apa lacur, justru malah menurunkan kualitas SDM Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline