Lihat ke Halaman Asli

Kafir: dari Ketidakpercayaan Religius hingga Praktik Penindasan

Diperbarui: 4 Oktober 2024   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://suaramuslim.net/

Kafir: Dari Ketidakpercayaan Religius hingga Praktik Penindasan. Judul di atas saya kutip langsung dari salah satu bab di dalam buku Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Ideologi yang ditulis oleh Islah Gusmian. Ini merupakan pembahasan yang sangat menarik, karena di dalamnya berisi penjelasan makna kafir dari berbagai sudut pandang ahli tafsir.

Beliau mengutip pendapat Harifuddin Cawidu yang menganalisa makna kufr dari segi linguistik. Kufr secara bahasa berarti "Menutup" (al-satr wa al-taghtiyyat). Sehingga orang kafir adalah mereka yang menutup-nutupi kebenaran yang meliputi: Tuhan sebagai kebenaran mutlak dan sumber segala kebenaran. Semua berasal dari Tuhan dalam bentuk ciptaan-ciptaan-Nya yang berhikmah. Semua ajaran yang berasal dari-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Rasul-Nya. Kebenaran sebagai lawan dari kebatilan, kepalsuan dan ketidakhakikian. Jadi, orang-orang kafir adalah mereka yang menolak, mendustakan, mengingkari, dan bahkan anti kebenaran-kebenaran yang dimaksud.

Cawidu mengidentifikasi ada tujuh jenis kufr, yang masing-masingnya mempunyai karakteristik tersendiri, Yaitu: inkar, juhud, nifaq, syirk, ni'am, riddah, dan ahl-kitab. Namun bila dikaitkan dengan kufr nikmat, maka orang-orang kafir adalah mereka yang menutup-nutupi nikmat-nikmat Tuhan, dalam arti menyembunyikan nikmat-nikmat itu, menempatkannya bukan pada tempatnya, dan menggunakannya bukan pada hal-hal yang diridhai oleh Tuhan sebagai pemberi nikmat.

Sehingga klaim kufr tidak hanya diarahkan pada komunitas Non Muslim, tetapi juga komunitas Muslim. Seperti kufr nikmat dan juhud (menolak hal-hal yang bersifat gaib), hal ini bisa terjadi terhadap individu-individu yang secara institusional berikrar diri sebagai Muslim. Sehingga klaim kafir sangat luas maknanya bukan hanya sebatas institusi agama, klaim kafir yang dibangun oleh al-Qur'an sebetulnya bergerak dalam wilayah etika sosial yang sangat luas, sehingga pada dasarnya adalah sikap jahat yang merugikan manusia. Seperti sikap moral mengingkari nikmat Tuhan, menolak hal-hal yang gaib, hedonistik, munafik, dan tiranitik, termasuk juga tindakan kufr.

Cawidu juga membagi pengertian kufr menjadi dua bagian, yaitu: (1) kekafiran yang menyebabkan pelakunya tidak lagi berhak disebut Muslim. Termasuk dalam kategori ini adalah jenis kufr syirk, kufr inkar, kufr juhud, kufr nifaq, dan kufr riddah, dan (2) mencakup semua perbuatan maksiat, dalam arti menyalahi perintah Allah swt dan melakukan larangan-larangan-Nya, yang secara umum bisa disebut kufr nikmat. Pelaku dari jenis kufr yang kedua ini, menurutnya tidaklah keluar dari Islam, meskipun dia menjalani hukuman Tuhan.

Jika dikaitkan konteks hukum fiqh, maka individu yang diklaim sebagai murtad, masuk dalam kategori pertama, darah dan jiwanya menjadi halal, harta bendanya disita Negara, mayatnya tidak dimandikan dan tidak dikuburkan di pekuburan Islam. Muncul pertanyaan mengapa kufr yang non riddah, tidak mempunyai sangsi hukum yang berat dan bersifat sosial macam itu?. Padahal, tindakan dalam kufr kelompok kedua juga mempunyai akibat buruk dalam sistem sosial kemasyarakatan yang merugikan banyak orang.

Bila kita percaya, bahwa dasar dirumuskannya sebuah produk hukum adalah sebagai bentuk penghentian kejahatan. Mengapa penentang moral agama itu tidak mendapat penentangan yang keras dan tegas juga. Padahal, yang terakhir justru mempunyai implikasi sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan secara umum.

Penafsiran Asghar Ali Engineer dapat memberikan jawaban terhadap pemaknaan kufr yang lebih luas. Asghar Ali memaknai kufr sebagai salah satu jalan penentangan terhadap usaha-usaha pembebasan. Dan beliau tidak membatasi makna kufr hanya pada sisi keagamaannya saja, tetapi juga dilihat dalam perspektif sosial-ekonomi. Menurut Asghar, kufr tidak hanya dimaknai sebagai ketidakpercayaan religius, namun juga harus diletakkan sebagai sikap aktif menentang usaha-usaha yang jujur dalam membentuk masyarakat yang adil dan berkeadaban. Ini artinya, kafir tidak hanya ditentukan oleh penolakan secara formal untuk beriman kepada Allah swt, tetapi lebih ditentukan oleh sikap-sikap yang melahirkan ketidakadilan dan penindasan di dalam struktur sosial masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline