Berdasarkan indeks kemacetan kota-kota besar diseluruh dunia, sebagaimana yang di rilis TomTom Traffick Indeks dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Di Tahun 2017, Jakarta berada pada peringkat ke tiga kota dengan tingkat kemacetan 58% dibawah Kota Bangkok 61 %. Sedangkan Mexico menduduki urutan pertama sebagai kota dengan tingkat kemacetan tertinggi 66 %.
Dengan tingkat kemacetan sebesar itu, Jakarta jauh memiliki problem kemacetan yang sangat rumit dari Kota Beijing yang hanya 46 %. Padahal Beijing memiliki jumlah penduduk yang sangat padat kurang lebih 21.7 Juta jiwa ketimbang Kota Jakarta yang hanya 10 juta penduduk. Membandingkan data penduduk antara kedua Kota ini, maka kemacetan Jakarta menjadi sebuah anomali.
Orang lebih leluasa berkendaraan di Beijing ketimbang Jakarta. Dengan level kemacetan diatas, maka waktu tempuh yang dikeluarkan dalam melakukan perjalanan di Kota Jakarta akan membuang waktu 58% lebih banyak dari waktu normal (tanpa kemacetan) saat melakukan perjalanan pada jam jam puncak kemacetan. Sedangkan di Beijing para pengendara hanya membuang waktu 46 % dari waktu normal.
Kalau kita mau ulur kebelakang, masalah kemacetan di Jakarta terjadi karena beberapa faktor klasik yang tak pernah terselesaikan dari hari ke hari. Pertama, pembangunan infra struktur jalan yang tidak berbanding lurus dengan penambahan jumlah kendaraan. Jumlah ruas jalan di Jakarta masih itu --itu saja, sedangkan pertambahan kendaraan dari hari ke hari ikut bertambah.
Kedua, gaya hidup masyarakat menengah (be have) di Jakarta yang sudah terbiasa dengan kebiasaan "one Car one man". Kalau kita mau jujur masing masing anggota keluarga di Jakarta memiliki kendaraan. Bapak, Ibu, Anak, masing-masing punya kendaraan sendiri. Bahkan pembantu juga sudah dibekali dengan mobil operasional rumah tangga.
Ketiga, secara spasial, Pemprov DKI Jakarta mengalami kesulitan mengendalikan terpusatnya berbagai macam kegiatan ekonomi nasional di Jakarta dan sekitarnya ( Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Secara nasional pusat perdagangan dan industri serta pemerintahan terpusat di Jakarta, sehingga tingkat mobilitas transportasi juga meningkat.
Penyebab ini ikut diperparah lagi dengan pembangunan beberapa kota baru seperti rencana pembangunan Meikarta oleh Lipo Group di jawa barat justru akan menambah kemacetan Jakarta
Disamping itu, rencana Pemerintah Pusat menjadikan Bekasi sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Saya tak bisa membayangkan betapa parahnya kemacetan Jakarta bila KEK Bekasi direalisir. Dipastikan tingkat kesemrawutan dan kemacetan Jakarta akan semakin parah. Bisa dibayangkan sebelum ada KEK bekasi saja kondisi kemacetan Jakarta sudah seperti ini, bagaimana nanti KEK Bekasi terbentuk?
Solusi kemacetan.
Siapa yang harus disalahkan? Apakah warga Jakarta pemilik mobil? infrastruktur jalan yang tidak memadai? Ataukah jangan --jangan pemerintah yang salah meng-diagnosa masalah kemacetan Jakarta sehingga solusi yang diambil pun tidak kunjung terselesaikan?
Mengatasi kemacetan Jakarta tidak bisa dilihat secara teknis semata. Kemacetan Jakarta harus dilihat secara komprehensif mulai dari hulu sampai hilir. Selama ini penanganan kemacetan Jakarta hanya difokuskan pada problem kemacetan secara in situ semata. Sehingga penanganannya pun terfokus pada aspek teknis seperti membangun Bus Rapid Transit(BRT) atau yang lebih dikenal dengan Trans Jakarta, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rapid Transit (LRT), peningkatan ruas jalan tol, sampai dengan rencana penerapan Electronic Road Pricing (ERP).