Ada yang menarik dari pernyataan Pak Prijanto, mantan Wagub DKI Jakarta yang pernah menggundurkan diri di zaman Gubernur Fauzi Bowo dalam Talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One semalam (Selasa, 17 Oktober 2017).
Ada beberapa aspek berbeda lain yang disorot oleh Pak Prijanto mengenai pro kontra Reklamasi Teluk Jakarta, antara lain aspek ideologi, politik, social-budaya, dan pertahanan - keamanan.
Menggunakan logika intelijen, secara samar Pak Prijatno mengungkapkan kekawatiran dibelakang rencana pembangunan reklamasi Teluk Jakarta. Bahwa selama ini kita tidak pernah bertanya tentang bagaimana hasil reklamasi ini dipasarkan? Dimana dipasarkan? Harganya berapa? Siapa yang akan membeli semua property setelah reklamasi ini selesai dikerjakan? Siapa yang akan memanfaatkan pembangunan diatas reklamasi itu? bagaimana interaksi sosial antara orang jakarta dengan para pengguna reklamasi (yang menurut Prijanto kemungkinan besar akan dimiliki oleh orang asing) ? Bagaimana kondisi pertahanan dan kemanan negara kita setelah orang - orang asing yang dimaksud itu sudah menjadi pemilik semua property diatas lahan reklamasi? Dan hal-hal inilah yang akan mengancam ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saya sepakat dengan Pak Prijatno, bahwa publik Jakarta selama ini hanya dipaparkan informasi mengenai kekhawatiran atas masalah hilangnya mata pencaharian nelayan dan termarjinalnya semua kelompok nelayan yang tinggal di bibir pantai Teluk Jakarta, serta informasi tentang dampak - fisik, kimia dan biotis - lingkungan belaka. Karena memang setiap ada pembangunan dimana saja, kita semua tertuju pada Undang-undang no 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Orang akan ribut bila suatu kegiatan dibangun tanpa memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Bahwa AMDAL reklamasi Teluk Jakarta penting saya sepakat. Tetapi kemungkinan masalah yang akan muncul kemudian pada tahap pasca konstruksi reklamasi Teluk Jakarta itulah yang lebih penting untuk kita pikirkan.Apakah reklamasi Teluk Jakarta dan semua rencana pembangunan diatasnya ditolak atau diterima?
Bagi saya, masalah reklamasi Teluk Jakarta tidak sekedar masalah AMDAL atau masalah lingkungan semata. Apa yang diungkapkan Pak Prajitno merupakan faktor x yang tersembunyi selama ini d ibalik tarik menarik antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat mengenai persoalan itu.
Karena kalau dari sisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) saja, nampaknya sangat lemah untuk kita jadikan alasan menolak Reklamasi jakarta. Kenapa? Karena dalam prinsip AMDAL, Aspek Tata Ruang menjadi faktor utama penentu bisa tidaknya sebuah kegiatan dilaksanakan. Kegiatan yang memiliki kesesuain dengan peruntukan ruang, maka secara otomatis kegiatan itu bisa dilaksanakan asalkan AMDAL-nya dibuat. Dari aspek spasial, keberadaan Teluk Jakarta memang diperuntukan untuk reklamasi. Jadi sekali lagi tidak ada alasan untuk menolak reklamasi Teluk Jakarta dari kaca mata AMDAL semata.
Juga dari aspek pengelolaan dampak, AMDAL akan selalu diterima dengan catatan, asalkan tersedianya teknologi dalam penanganan dampaknya. Dan Pemerintah Pusat juga saya pikir sudah mengkaji semua aspek teknis dan administrasi rencana Reklamasi Teluk Jakarta tersebut.
Tapi dari semua itu ada hal yang lebih penting yang saya liat dari ILC semalam, yaitu komentar dari Prof. Rocky Gerung tentang etika dan filosofis dari ekologi itu sendiri. Bahwa AMDAL itu sendiri sebenarnya memiliki semangat "menghambat" dan " menghalangi "untuk membangun. Dimana, didalam ekonomi, izin itu adalah salah satu kutub untuk memudahkan eksplorasi. Sedangkan didalam perspektif ekologi, izin itu untuk menghalangi eksplorasi. Karena izin dalam ekologi memiliki semangat konservasi dan menjadi salah satu dari berbagai instrument pencegahan dan pengendalian dampak lingkungan.
Dalam konteks ini , mindset Pemerintah Pusat dalam memandang pembangunan reklamasi Teluk Jakarta hanya dari aspek ekonomi saja sangatlah keliru.
Saya setuju sekali dengan Pak Rocky Gerung. Karena Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebenarnya yang saat ini kita anut di Indonesia adalah adopsi dari Undang -Undang Lingkungan di Amerika, National Environmental Police Act (NEPA) sehingga filosofis utamanya kita tidak paham. Cara negara ini mengelola lingkungan sangat mekanis dan syarat administratif belaka. Padahal apa yang dikemukakan Rocky Gerung itu sebenarnya inti dari lahirnya AMDAL di Amerika serikat.