Tanpa sengaja kamis malam, 11 Oktober 2017, saya ketemu Saudara Abdullah Totona (atau biasa disapa Aloed) di Kafe Jarod Ternate. Dalam pertemuan tak terduga itu saya dikasih sebuah buku berjudul "Ambiguitas Kaum Intelektual" karangan Saudara Abdullah Totona sendiri. Senang memang dikasih langsung oleh penulis buku itu.Biar lebih afdhol, saya minta saudara Aloed tanda tangan sebagai kenangan-kenangan.
Sekilas membaca judulnya, saya terperanjat karena mengingatkan saya pada Julian Benda (1867-1956) seorang sosiolog Perancis yang terkenal dengan karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Penghianatan Kaum Cendekiawan)". Benda dengan lugas menuturkan bahwa kaum intelektual saat itu sudah mulai berhianat.
Para intelektual sudah cenderung mengabdi pada kepentingan parsial dan meninggalkan peran utamanya dan rela menjadi kaki tangan penguasa. Padahal menurut Benda, figure intelektual itu harus hadir dan menjadi satu kekuatan yang merepresentasikan kepentingan public (public interest) dengan menawarkan sebuah ideology baru intelektual yang dikenal dengan ideologi humanisme universal. Figur intelektual semata mata memproduksi pengetahuan dalam rangka mencapai kebenaran dan kepentingan public.
Apa yang diidealkan Benda, tentang eksistensi figure Intelektual, diperkuat kembali oleh saudara Aloed dengan sebuah bukunya "Ambiguitas Kaum Intelektual". Aloed mencobah membedah peran dan eksistensi intelektual ditengah tengah masyarakat Maluku Utara yang pernah mengalami konflik kekerasan berbau SaRa yang terjadi di Maluku Utara 17 tahun lalu.
Menggunakan pisau analisis Piere Bourdieu, Saudara Aloed Totona mengingatkan kembali kepada kita sebuah frame baru tentang pemahaman ideology intelektual. Dimata Aloed intelektual saat ini membutuhkan arena atau ruang pertarungan untuk mengembangkan modal budaya (pendidikan), modal social (kepercayaan, jaringan, dan sebagainya), modal ekonomi (harta), modal simbolis (gelar, prestise dan kehormatan) agar identitas intelektual dapat terbentuk dimasyarakat.
Dengan mengambil seting kasus kerusuhan di Maluku Utara, secara gamblang dan sangat terang benderang saudara Aloed menelanjangi kaum intelektual Maluku Utara yang memiliki peran yang sangat besar dan secara langsung ikut terlibat dalam konflik tersebut. Peran dan keterlibatan para intelektual Maluku Utara pada saat itu terdistribusi pada beberapa kepentingan yang dilakoninya. Para intelektual yang dekat dengan kekuasaan memainkan perannya sehingga konflik Maluku Utara pecah. Para intelektual di Maluku Utara pada saat itu sengaja memainkan konflik antara elit, perebutan kekuasan kursiGubernur Maluku Utara, sumber daya alam dan etnik menjadi sumber utama konflik kekerasan berbau sara di Maluku Utara. Dari aspek hukum sebenarnya peran para intelektual tersebut bisa diungkap dan diselidiki, sipa bikin apa, siapa dapat apa, dan siapa profokatornya.
Para aktor intelektual Maluku Utara begitu mudah terkotak kotak ke dalam beberapa kelompok kepentingan, dan pada saat konfilk membentuk dua kelompok besar yaitu Islam dan Kristen untuk sama --sama memperjuangkan hal --hal yang sebenarnya mereka juga tidak faham.
Hal--hal yang sebetulnya tidak menimbulkan konflik horizontal dari cultur dan relasi social yang sudah terjadi di Maluku Utara dengan mudahnya dipresentasikan menjadi konflik agama. Sendi-sendi kehidupan orang Maluku Utara yang begitu akur dan toleran tercabik --cabik menjadi dendam kemanusiaan diantara sesama. Padahal idealnya lahirnya intelektual disuatu daerah berarti lahir pula kemakmuran, kecerdasan, keadilan dan kemajuan didaerah itu juga. Bukan sebaliknya.
Memang, bicara peran intelektual dari dulu sampai sekarang tidak ada habis habisnya. Seiring perjalanan sejarah maka secara otomatis dunia dan peradaban juga mengalami perubahan. Ideologi intelektual pun ikut berubah dan tumbuh bak jamur dimusim hujan. Berbagai ideology intelektual muncul semakin beragam, dan berlapis lapis.
Saat ini sangat mudah kita temukan konsep publik interes dan humanisme universal yang muncul dengan beragam frame dan sarat dengan klaim --klaim intelektual. Kerangka ideology intelektual itu ikut bermetamorfosa menjadi begitu banyak pertentangan dengan kepentingan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga jangan heran kalau kita menemukan kepentingan masyarakat dalam kerangka kapitalisme itu akan berbeda dengan kepentingan masyarakat dalam kerangka komunisme.
Begitu juga dengan kepentingan masyarakat dalam kerangka fasisme akan sangat jauh berbeda dengan kepentingan masyarakat dalam kerangka demokrasi.