Pada masa itu banyak dari pejuang kemerdekaan Indonesia dibuang dan diasingkan oleh Belanda ke luar Jawa karena pemerintahan kolonial Belanda saat itu ingin mengendalikan gerakan perlawanan dan memadamkan semangat perjuangan kemerdekaan. Dari sekian banyak orang, Sjahrir dan Hatta juga tak luput dari pengasingan itu.
Sjahrir dan Hatta tiba di Banda pada tgl 11 Februari 1936, Keduanya dipindahkan dari Boven Digoel ke Banda Neira demi kesehatan. Di Boven Digoel, malaria menjadi pembunuh terganas. Kedua tokoh tersebut juga sempat menderita malaria di sana. Mula nya mereka tingal bersama di sebuah rumah yang Hatta sewa melalui seorang tuan tanah, namun tak lama kemudian Sjahrir memilih untuk berpisah rumah dengan Hatta menyewa rumah lain yang lebih dekat dengan pelabuhan.
Untuk menyambung hidupnya di pengasingan, Hatta bekerja dengan cara menulis koran dan mengajar sekolah masyarakat sana di waktu luangnya yang Honornya bisa ia pakai untuk membeli keperluan pribadi nya. Di pengasingan ini, Hatta juga memiliki banyak waktu untuk membaca beratus-ratus buku yang dibawa. Total ada 16 peti yang ia bawa dari Digoel ke Banda. Hasil bacaannya ia kemas menjadi pengetahuan baru yang ia tulis menjadi sebuah artikel hingga buku.
Hatta dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan sangat disiplin, lebih senang menghabiskan waktu untuk berfikir merenung dan menulis. Berbanding terbalik dengan kawannya Sjahrir yang lebih senang menghabiskan waktu untuk bergaul dengan warga sekitar terutama dengan para pemuda kampung. Karena kedisiplinan Hatta sampai sampai warga sekitar mematok jam dengan cara melihat Hatta, jika Hatta sudah berjalan pulang menuju rumahnya berarti waktu menandakan sudah pukul lima sore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H