Salah satu praktik demokrasi yang sehat adalah terjaminnya kebebasan beropini, ruangan aman untuk bertukar ide, dan terbukanya kesempatan untuk berdiskusi. Namun, ada fenomena baru yang terjadi di sosial media di mana pemerintah sering berpaling kepada buzzer untuk membantah opini dari publik yang berseberangan dengan kebijakan yang mau dijalankan. Tidak hanya untuk kebijakan atau sosialisasi peraturan baru seperti kenaikan PPh 12% yang berdampak ke semua rakyat, tapi juga protes pemecatan pelatih Timnas Indonesia yang dihantam buzzer membela keputusan ketua PSSI yang dikritisi suporter sepak bola Indonesia.
Mungkin kita semua pernah merasakannya. Saat kita ingin mengungkapkan pendapat, berbagi cerita, atau menyuarakan kekhawatiran di media sosial, seringkali kita merasa seperti berteriak di tengah keramaian yang tak berujung. Rasanya seperti ada suara lain yang jauh lebih keras, lebih mendominasi, sehingga suara kita seolah tenggelam tak berarti. Di sinilah peran buzzer mulai terlihat. Penelitian berjudul "The Industry of Political Buzzing in Indonesia and Its Impact on Social Media Governance: Examining Viral Tweets," oleh Dr. Mirta Amalia, Klara Esti, dan Mohammad Rinaldi Camil mendefinisikan buzzer bukan sekadar pengguna biasa; tetapi sebagai "individu yang memiliki akun media sosial dengan ribuan atau jutaan pengikut dan ditugaskan oleh kandidat politik untuk memperkuat isu-isu politik tertentu melalui unggahan yang viral." Penelitian ini juga menekankan bagaimana buzzer menciptakan 'pengaruh pasif'---dimana mereka menarik perhatian orang tanpa membangun kepercayaan---berbeda dengan influencer yang membangun 'pengaruh aktif' melalui otoritas dan kepercayaan yang mereka bangun di mata pengikutnya. Temuan ini didapatkan melalui wawancara peneliti dan analisis terhadap dinamika industri buzzer di Indonesia, yang menunjukkan perbedaan cara buzzer dan influencer bekerja dalam membentuk opini publik.
Buzzer seringkali menggunakan taktik yang cerdas, bahkan manipulatif, untuk menciptakan ilusi bahwa pendapat mereka adalah pendapat mayoritas. Untuk mewujudkan ilusi tersebut, buzzer menggunakan beragam strategi, di antaranya adalah apa yang diungkapkan oleh penelitian Fera Belinda dkk., dalam karyanya "Manipulation of Information in the 2024 Election in Indonesia: Political Dynamics in the Post-Truth Era," buzzer menggunakan kombinasi gambar atau video dengan teks karena konten visual lebih mudah dipahami dan diingat banyak orang. Selain itu, mereka juga memakai narasi harapan dan kebencian yang memprovokasi emosi untuk menjangkau lebih banyak orang. Lebih jauh lagi, mereka seringkali membuat portal berita palsu dengan tujuan membuat informasi yang mereka sebarkan terlihat kredibel, disertai judul yang sensasional (clickbait). Setelah itu, dengan menggunakan banyak akun palsu yang terorganisir, mereka membuat seolah-olah ada dukungan luas terhadap suatu pendapat, padahal kenyataannya tidak demikian. Mereka bekerja untuk membuat ilusi bahwa seolah-olah semua orang setuju dengan apa yang mereka kampanyekan, dan ini mereka lakukan untuk menenggelamkan pendapat orang yang berseberangan, skeptis atau mengekpresikan ketidaksetujuan. Taktik manipulatif tersebut mereka lakukan untuk membentuk opini publik sesuai dengan tujuan mereka.
Dampak pada orang saat konsumsi informasi di sosial media adalah terciptanya ruang gema (echo chamber) di lini masa, dimana narasi buzzer yang muncul menguatkan satu suara saja, sering kali memberi ilusi bahwa narasi buzzer adalah yang utama dan mayoritas. Padahal mereka melakukan manipulasi lini masa sehingga kita hanya mendengar narasi yang mereka inginkan. Kenyataannya, di dunia maya ada banyak suara yang berbeda, banyak pendapat yang layak kita pertimbangkan. Kita dibuat percaya bahwa hanya ada satu pandangan yang benar. Temuan dari laporan CSIS Indonesia berjudul "Cybertroops and Public Opinion Manipulation through Social Media in Indonesia" oleh Wijayanto dan Ward Berenschot juga mengungkap struktur operasi cyber troops atau buzzer, berdasarkan wawancara mendalam dengan individu yang terlibat langsung dalam operasi ini. Laporan tersebut menemukan bahwa buzzer menggunakan berbagai taktik yang terorganisir, termasuk membuat akun palsu, menggunakan kuis giveaway untuk membuat tagar menjadi trending, mengeksploitasi politik identitas, dan berkolaborasi dengan content creator, coordinator, dan influencer untuk menyebarkan pesan mereka secara luas dan membuat ilusi dukungan publik.
Bukan hanya menciptakan ilusi, buzzer juga seringkali bertindak agresif untuk membungkam suara-suara yang berbeda. Mereka menyerang, mengolok-olok, atau bahkan melaporkan akun-akun yang tidak sependapat dengan mereka. Akibatnya, banyak orang yang takut untuk bersuara secara bebas, takut untuk mengkritisi, takut untuk berbeda pendapat. Ini menciptakan suasana yang tidak sehat dalam berdiskusi di dunia maya, dan secara tidak langsung juga membatasi kebebasan kita sebagai warga negara. Data dari laporan CSIS mengungkapkan bahwa buzzer bekerja seperti tentara bayaran daring (online mercenaries) yang siap disewa oleh pihak-pihak yang mampu membayar untuk memanipulasi opini publik. Mereka juga sering memanfaatkan bot untuk menduplikasi akun dengan cepat sehingga pesan mereka bisa lebih tersebar secara luas.
Dalam operasinya, para buzzer di tingkat paling bawah dibayar berdasarkan jumlah akun yang mereka kelola, sementara content creator menerima bayaran per proyek untuk memproduksi konten yang akan diunggah buzzer. Para koordinator mengatur jalannya kampanye dan merekrut buzzer. Dan Influencer yang menguatkan pesan-pesan tersebut dengan jangkauan audiens mereka yang luas, sebagai penerima kompensasi paling tinggi. Informasi ini didapatkan dari wawancara dengan para buzzer sendiri, dari mereka pula, kita mengetahui bahwa yang mendanai operasi-operasi ini seringkali adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi, mulai dari Pemerintah, Politikus, sampai Elit Bisnis. Buzzer, dengan demikian, menjadi instrumen untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Ini menunjukkan bahwa praktik membungkam suara tidak hanya terkait etika, tetapi telah menjadi industri yang melibatkan uang dan kekuasaan.
Perlu kita ingat, persoalan ini bukan hanya sekadar isu politik atau isu nasional. Ini adalah persoalan tentang bagaimana kita berkomunikasi, bagaimana kita mengekspresikan diri, dan bagaimana kita membangun pemahaman kita tentang dunia. Ini juga bukan persoalan yang hanya mempengaruhi satu golongan atau satu kelompok saja. Ini adalah masalah yang kita semua hadapi, tanpa memandang latar belakang, pendidikan, ataupun afiliasi politik kita. Seperti temuan dari Yujitia Ahdarrijal dan Dian Eka Rahmawati dalam "The Role of Digital Media in Determining the Direction of Indonesia's Democracy in 2023", media digital punya potensi untuk menciptakan ruang partisipasi demokrasi, tetapi juga bisa disalahgunakan oleh buzzer untuk memanipulasi opini, sehingga potensi positifnya tidak bisa tercapai. Jika buzzer berhasil membungkam suara orang lain, maka itu sama saja kita membiarkan kita sendiri menjadi korban manipulasi, akhirnya kita akan percaya bahwa apa yang di kampanyekan buzzer tersebut adalah kenyataan yang sesungguhnya, padahal mereka sedang membentuk ilusi semata untuk kepentingan mereka.
Oleh karena itu, kita perlu berani dan aktif untuk melawan upaya pembungkaman ini. Berikut beberapa cara yang bisa kita lakukan:
Berpikir Kritis:
Langkah pertama adalah dengan lebih cermat dalam mengkonsumsi informasi di media sosial. Kita perlu berhenti menjadi konsumen pasif yang mudah percaya dengan apa yang trending, apalagi jika terkesan terlalu sempurna. Jangan biarkan diri kita hanya terpaku pada satu atau dua sumber saja. Cobalah untuk mencari informasi dari berbagai sumber, dan biasakan untuk membandingkan satu informasi dengan yang lainnya. Kita juga perlu meningkatkan kesadaran akan taktik yang sering digunakan buzzer, seperti penggunaan tagar yang sama oleh banyak akun, atau konten yang disajikan dengan gaya emosional tanpa dukungan fakta. Dengan meningkatkan literasi media, kita akan lebih waspada terhadap berbagai bentuk misinformasi dan bisa lebih bijak dalam memilah informasi.
Menganalisa Akun: