Lihat ke Halaman Asli

vSukamtiningtyas

Pemikir strategis, marketer profesional dan konsultan kreatif untuk UMKM

Penyebab Partisipasi Pemilih Turun: Bukan Jenuh atau Harus Kerja

Diperbarui: 12 Desember 2024   16:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Element5 Digital on Unsplash

Pemilu serentak 2024 menorehkan catatan pahit dalam sejarah demokrasi Indonesia: angka partisipasi pemilih yang mengkhawatirkan. Penurunan drastis di berbagai daerah, seperti Jakarta yang merosot dari 70% menjadi 58%, dan Sumatera Utara hanya mencapai 55.6%, bukanlah sekadar data statistik. Angka-angka ini merupakan manifestasi nyata dari krisis representasi demokratis yang sedang melanda Indonesia, sekaligus bukti nyata penggerusan prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang diamanatkan Pancasila. Teori "Post-Demokrasi" Colin Crouch menjadi kerangka analisis yang sangat relevan: demokrasi secara formal masih berjalan, namun substansinya terkikis, digantikan oleh dominasi elit politik-ekonomi yang mengutamakan penampilan daripada substansi, sebuah fenomena yang semakin menguat di Indonesia.

Fenomena "lebih vibes, kurang substansi" dalam politik Indonesia bukan lagi hal yang asing. "Vibes," dalam konteks ini, merujuk pada kesan keseluruhan yang diciptakan kandidat, terutama melalui karisma dan gaya komunikasi. Namun, kandidat yang hanya mengandalkan "vibes" mengutamakan citra dan popularitas media sosial daripada program dan solusi nyata bagi permasalahan rakyat. Mereka mengandalkan daya tarik emosional, slogan menarik, dan konten viral, seringkali mengabaikan bahkan menghindari dialog substansial terkait isu-isu krusial yang dihadapi masyarakat. Strategi ini, yang dapat disebut sebagai "political communication engineering" atau rekayasa komunikasi politik merupakan teknik komunikasi politik yang canggih, yang mengemas politik sebagai komoditas yang dipasarkan, dikonsumsi, dan direbranding secara berkelanjutan. Dampaknya menghantam langsung prinsip Keadilan Sosial yang menjadi pilar demokrasi Indonesia.

Tren ini didorong oleh berbagai faktor kompleks. Transformasi media yang sangat pesat, dengan siklus berita 24/7 dan budaya "soundbite" atau pernyataan singkat yang diedit secara menarik, telah menciptakan lingkungan di mana analisis mendalam dan diskusi kebijakan bernuansa tergeser oleh konten yang mudah dikonsumsi dan disebarluaskan secara cepat. Pergeseran budaya yang mengutamakan personal branding dan "apa adanya" di atas keahlian dan pengalaman juga berperan signifikan. Di era media sosial, jumlah pengikut dan popularitas algoritmik menjadi ukuran keberhasilan politik, mengaburkan bahkan mengalahkan kriteria meritokrasi dan kompetensi. Namun, faktor-faktor ini hanyalah katalis. Dampaknya yang paling merusak adalah penggerusan hak-hak warga untuk mendapatkan representasi yang setara dan bermartabat, sebuah prinsip inti dari sila kelima dari Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Konsep "intelektual organik" Gramsci, jika diadaptasi dalam konteks ini, menggambarkan figur publik yang bukan lagi sebagai jembatan antar kelas sosial, melainkan sebagai "insinyur narasi" yang secara strategis memanfaatkan modal budaya untuk meraih kekuasaan politik. Legitimasi politik pun bermutasi; representasi bukan lagi tentang mengartikulasikan aspirasi kolektif, melainkan tentang mempertunjukkannya. Panggung politik berubah menjadi pertunjukan terus-menerus, di mana keterlibatan emosional dan sensasi mengalahkan dialog substansial yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah riil masyarakat. Teori "Society of the Spectacle" Debord semakin memperjelas bagaimana penampilan mengalahkan substansi dalam realitas politik yang didominasi media dan algoritma. Dalam konteks Indonesia, strategi ini semakin menguat, melanggengkan ketimpangan akses politik dan mendistorsi prinsip Keadilan Sosial.

Di Indonesia, partai politik, secara sadar atau tidak, telah mengadopsi "political communication engineering" atau rekayasa komunikasi politik sebagai strategi utama. Mereka lebih memilih ekosistem media sosial dan hiburan sebagai lahan rekrutmen, menggeser kriteria meritokrasi dengan mengutamakan jumlah pengikut dan popularitas algoritmik ketimbang keahlian dan integritas. Jumlah pengikut di media sosial menggantikan pengalaman dan kompetensi dalam kebijakan publik. Resonansi emosional menggantikan pemikiran strategis. Personal branding menggantikan pemahaman kelembagaan yang mendalam. Ini bukanlah sekadar strategi komunikasi, melainkan mekanisme re-konfigurasi kekuasaan yang sistematis, menciptakan kesenjangan akses politik yang semakin lebar, sekaligus mencederai cita-cita Keadilan Sosial.

"Political communication engineering" dengan sengaja membangun penghalang sistematis yang meminggirkan jalur partisipasi politik tradisional. Keahlian kebijakan, pengalaman pemerintahan, dan keterlibatan akar rumput kini tergeser oleh kemampuan membangun narasi emosional yang viral dan popularitas di media sosial. Generasi tua, dengan keterbatasan akses internet, terpinggirkan secara sistematis. Mereka yang tidak memiliki platform yang sudah ada, tidak hanya terpinggirkan, tetapi juga tidak terlihat dalam lanskap politik, bahkan aspirasi dan kebutuhan mereka pun diabaikan. Kesempatan akses politik yang seharusnya setara bagi seluruh rakyat Indonesia (Keadilan Sosial) tergerus secara sistematis. Akses politik telah berubah menjadi fungsi dari modal sosial yang sudah ada, visibilitas media, manipulasi emosional, dan popularitas algoritmik, bukan kemampuan dan integritas. Ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip Keadilan Sosial dalam Pancasila.

Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu lokal 2024, yang menunjukkan angka partisipasi terendah, bukanlah sekadar sinyal kegagalan sistem, tetapi bukti nyata kegagalan sistem dalam merepresentasikan aspirasi rakyat. Bukan karena apatisme, melainkan karena pemilih, sebagai subjek yang kritis, menyadari kehampaan politik performatif yang didominasi oleh "political communication engineering". Pemilih menarik diri sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang mengutamakan penampilan daripada substansi. Kepercayaan publik terhadap proses demokrasi terkikis, dan prinsip Keadilan Sosial dalam Pancasila dilanggar secara sistematis. Sistem yang dirancang untuk mewakili kepentingan kolektif, justru menjadi alat untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada dan melanggengkan ketimpangan.

Kesimpulannya, "political communication engineering" di Indonesia tidak hanya mendistorsi representasi demokratis, tetapi juga secara sistematis menghancurkan prinsip Keadilan Sosial yang diamanatkan Pancasila. Rendahnya partisipasi pemilih menjadi bukti nyata kegagalan sistem dalam mewujudkan representasi yang adil dan partisipatif bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlu perubahan fundamental dalam pendekatan komunikasi politik, dengan mengembalikan substansi, dialog, dan partisipasi yang bermakna sebagai inti dari proses demokrasi. Hanya dengan demikian, prinsip Keadilan Sosial dapat diwujudkan secara nyata dan demokrasi Indonesia dapat berjalan secara sehat dan bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline