Lihat ke Halaman Asli

Mewujudkan Industrialisasi di Luar Jawa

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13611875841184404932

[caption id="attachment_244039" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (kompas.com)"][/caption] Industrialisasi di negara kita sebenarnya sudah dirancang dengan cukup baik, walau belum optimal, melalui Perpres No.28 Tahun 2008 tentang Kebijaksanaan Industri Nasional (KIN). Saya sangat yakin bahwa hanya sedikit dari warga negara Indonesia yang mengetahui tentang Perpres tersebut, apalagi yang memahami. Padahal bangun industri nasional dirancang di dalam Perpres tersebut.

Di dalam KIN, setidaknya ada 4 pilar utama dalam mendorong industrialisasi di luar Jawa. Pilar tersebut adalah Roadmap Komoditi (mencapai 39 Roadmap); Roadmap Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID) yang seharusnya sekarang mencapai 497 roadmap dan semestinya menjadi 501 roadmap KIID dengan tambahan 4 kabupaten baru; Roadmap Industri Unggulan Provinsi (IUP) yang mencapai 33 roadmap (sekarang 34 dengan adanya Provinsi Kalimantan Utara); dan anjuran agar seluruh daerah menyediakan kawasan industri. Khusus untuk kawasan industri ini seluruh daerah yang sedang menyusun RTRW, harus mengalokasikan kawasan peruntukkan industri, baik dalam bentuk kawasan industri, zona industri, maupun kota industri.

KIID

Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID) adalah sebuah istilah baru yang hanya ada di Indonesia. 2 tahun terakhir ini saya sering sekali bertukar pikiran dengan rekan-rekan di Kementerian Perindustrian untuk mendapatkan apa sebenarnya definisi KIID tersebut.

Definisi tersebut menjadi penting, karena KIID akan menentukan strategi pembangunan industrialisasi di daerah tersebut, serta dukungan yang dapat diberikan oleh Kementerian Perindustrian. Sebelumnya di kalangan perindustrian lebih dikenal pendekatan OVOP, dengan segala modifikasinya.

Ada perbedaan mendasar antara KIID dan OVOP. OVOP berorientasi pada produk, sementara itu KIID berorientasi pada proses. Kata dasar dari KIID adalah kompetensi inti. Istilah ini diadposi dari core competence yang lebih jamak digunakan dilingkungan perusahaan/industri dengan lingkungan yang bersifat homogen. Dalam dunia usaha, kompetensi inti merupakan suatu keunggulan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut sehingga menghasilkan produk yang memiliki daya saing tinggi dalam persaingan pasar.

Apabila Kompetensi Inti Industri Daerah kita penggal menjadi dua frase, yaitu Kompetensi Inti dan Industri Daerah, maka akan kita dapatkan definisi sederhananya adalah keunggulan dari industri daerah. Persoalannya adalah bagaimana kita mendefinisikan industri daerah? Ada dua cara pandang, yaitu industri daerah adalah industri-industri yang ada di daerah, atau suatu industri tertentu di daerah. diskusi kemudian berkembang apakah KIID adalah pendekatan terhadap industri yang sudah ada, atau pengembangan industri baru di daerah tersebut?

Diluar itu semua saya juga kerap mengingatkan teman-teman diskusi saya itu, “roh”-nya KIID itu apa? Dan saya tekankan kepada mereka bahwa ide KIID itu sebenarnya adalah untuk mendukung industrialisasi di luar Jawa. Atau setidaknya mengurangi pergerakan atau dinamisasi bahan mentah. Sehingga nilai tambah karena adanya unsur pengolahan dapat dinikmati juga oleh daerah penghasil.

Dari pemikiran tersebut, maka asumsi pertama yang diambil adalah adanya pembedaan 2 kelompok KIID. Yaitu KIID sebagai barang baru, dan KIID sebagai upgrade barang lama. Asumsi kedua adalah bahwa KIID adalah keunggulan proses, bukan keunggulan bahan baku ataupun keunggulan produk akhir. Sehingga unsur keunikan yang terdapat di dalam KIID adalah efisiensi dalam menghasilkan produk. Produk yang dihasilkan oleh proses ini bisa lebih dari satu, dan bahan baku yang diperlukan oleh proses ini bisa lebih dari satu jenis. Asumsi ketiga, KIID sifatnya harus dikuasai, bukan sudah dikuasai. Dengan demikian KIID tidak mempertimbangkan faktor SDM atau penguasaan teknologi eksisting. Yang lebih ditekankan adalah pilihan daerah untuk menguasai teknologi proses apa, sehingga akan memerlukan SDM seperti apa. Asumsi ini diambil karena fakta lapangan, SDM adalah kendala dihampir semua daerah. Dan adanya KIID diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas SDM lokal, dan migrasi SDM terampil daerah daerah yang kelebihan SDM terampil.

Lewat ketiga asumsi itulah saya menyimpulkan bahwa Kompetensi Inti Industri Daerah adalah keunggulan pengolahan yang dapat dikembangkan disuatu daerah, baik karena ketersediaan bahan baku dan/atau karena tersedianya SDM yang terampil. Daerah luar Jawa akan menitikberatkan pada aspek bahan baku, sedangkan daerah di Jawa akan lebih menitik-beratkan kepada aspek ketersediaan SDM terampil. Dengan demikian dapat berkembang sebuah rantai nilai, dimana daerah-daerah luar Jawa pada tahap awal didorong untuk mengembangkan produk ½ jadi atau bahan baku dari bahan mentah, untuk kebutuhan daerah di Jawa.

Sampai hari ini kesimpulan yang saya sampaikan ini masih belum dapat dimengerti atau diterima oleh sebagian besar teman-teman di Kementerian Perindustrian, meskipun justru teman-teman di daerah lebih cepat menangkap apa yang dimaksud. Hal ini saya yakini karean perbedaan latar belakang, perbedaan sudut pandang, kepentingan, dan habitat yang didiami. Sehingga pada akhirnya KIID yang ditetapkan masih berorientasi pada industri pengolahan bahan baku yang dihasilkan di daerah tersebut menjadi satu produk utama. Aspek industri pengolahan bahan bakunya tidak menjadi masalah. Tetapi keharusan menetapkan satu produk utama dengan dalih harus terkelompokkan di dalam satu kelompok produk yang sudah baku, memperlihatkan karakter birokrasi yang kental. Padahal yang disusun adalah sebuah roh untuk kegiatan industri yang akan dikelola sebagai kegiatan bisnis. Saya sering menyindir itulah kalau salah menerjemahkan entrepreneurship government, sebab birokrasi di negeri kita ini sudah terkenal sebagai “makhluk kreatif” tetapi bukan “makhluk inovatif”. Ini juga karena kita terlalu lama berkiblat ke Jepang, Jepang itu sangat kreatif, Jerman sangat inovatif, tetapi Korea dan China mampu memaksimalkan kreatif dan inovatif secara bersamaan.

KIID sebagai Lokomotif Industrialisasi Luar Jawa

Pendekatan OVOP dan OTOP di negara kita tidak terlalu tepat. Negara kita ini lebih kaya dan variatif tetapi juga lebih homogen. Pada saat penentuan komoditi bahan baku yang diolah, banyak teman2 yang kebingungan, karena yang dihasilkan hampir sama. Seperti misalnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan atau Sulawesi Tengah, dominasi komoditi utamanya tidak jauh dari kakao, rumput laut, atau rotan. Seharusnya hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Meskipun daerah2 tersebut menetapkan komoditi bahan baku yang sama dan industri pengolahan yang sama, yang akan membedakan adalah konsistensi dan keseriusan mereka. Tidak perlu dikompetisikan, tetapi ditata dengan baik jaringan bisnisnya.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian untuk mendorong industrialisasi adalah dengan memberikan bantuan mesin/peralatan produksi. Saat ini dikenal pemberian bantuan kepada KUB atau koperasi berdasarkan proposal yang diajukan. Hal ini terjadi karena digunakan pendekatan OVOP, sehingga skala industrinya juga kecil. Dan bantuan seperti ini tidak hanya diberikan oleh Ditjen IKM, tetapi juga oleh Ditjen yang lainnya seperti Ditjen Industri Agro, Ditjen PPI dan juga Ditjen BIM. Seperti sudah menjadi kesepakatan bahwa nilai bantuan hanya berkisar antara 1-2 milyar saja.

Pendekatan program seperti ini tidak cocok bagi implementasi KIID. Karena KIID sifatnya adalah daerah, bukan village atau kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu kemitraan yang dibangun seharusnya adalah dengan perusahaan daerah. Sehingga implementasi KIID juga dapat menjadi media untuk memperbaiki kinerja perusahaan daerah, dan juga menumbuhkan perusahaan daerah yang profesional dalam bisnis. PAD daerah tersebut dapat ditingkatkan melalui deviden dari implementasi KIID tersebut. Yang diperbaiki adalah pendekatannya, bukan mengkondisikan KIID menjadi skala industri kecil. Minimal KIID harus dikembangkan dalam skala industri menengah, dan mendorong pengembangan industri kecil di kalangan rakyat sebagai pemasok bagi industri menengah tersebut.

Dengan dukungan adanya kawasan industri, kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal, bantuan peralatan/mesin sebagai penyertaan modal, dan suntikan modal kerja dari APBD setempat atau provinsi, serta terbukanya membentuk usaha patungan dengan swasta, maka implementasi KIID dengan pengelolaan yang benar dapat menjadi lokomotif industrialisasi di luar Jawa.

Sebagai ilustrasi adalah industrialisasi kakao. Di Gowa dibangun industri pengolahan kakao berbahan baku liquor. Industri ini dapat menjadi KIID kabupaten Gowa, dan salah satu industri unggulan provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya daerah-daerah lain dengan basis KIID kakao, atau yang memiliki produksi bahan baku kakao cukup tinggi, diarahkan untuk menghasilkan liquor. Tetapi yang terjadi, bantuan mesin dan peralatan untuk daerah lain justru pengolahan kakao menjadi bubuk dan pasta. Kondisi ini memperlihatkan ketidak-pahaman terhadap sebuah proses industrialisasi dan mengembangkan kluster kakao. Padahal dengan mengembangkan rantai produksi seperti ini, maka pabrik kakao di Jawa harus berorientasi pada produk berbahan baku kakao bubuk dan pasta. Daerah penghasil kakao akan menjadi penghasil produk ½ jadi berbahan baku kakao. Meski tidak tertutup kemungkinan pembangunan pabrik produk berbahan baku kakao bubuk dan pasta di Sulawesi Selatan.

Peran Kementerian Perindustrian

Sekali lagi kita harus sepakati dulu definisi dari KIID. Kementerian Perindustrian menetapkan KIID yang sudah dipilih oleh suatu daerah menjadi Permenperin Roadmap KIID. Jadi dibuatkan roadmapnya.

Lucu sekali pada saat melihat roadmap-roadmap KIID. Kelucuan pertama adalah jangka waktu. Roadmap tersebut hanya berdurasi 5 tahun. Kelucuan kedua adalah jabaran program aksi di dalam roadmap, yang didominasi oleh program-program aksi Dinas perindustrian setempat.

Fakta ini memperlihatkan bahwa birokrasi kita demikian lemah dalam memahami bahwa industri itu adalah kegiatan bisnis. Sehingga roadmap yang dihasilkan juga harus merupakan roadmap yang bersifat bisnis. Tidak ada roadmap bisnis yang berdurasi 5 tahun. Setiap roadmap umunya dikembangkan untuk jangka waktu 15-20 tahun. Dan roadmap tidak menjabarkan program aksi, tetapi milestone dan aktor di dalam pencapaian milestone tersebut. Sementara itu penjabaran teknis program aksi berdasarkan visi dan misi yang dimuat di dalam roadmap, dituangkan di dalam masterplan atau rencana induk.

Sehingga peran Kementerian Perindustrian adalah mempersiapkan grand design dari industrialisasi di daerah tersebut dan komoditi tersebut. Melalui roadmap Industri Unggulan Provinsi, maka KIID atau potensi yang sejenis di daerah-daerah disinergikan dalam satu kerangka bersama. Dan potensi-potensi atau unggulan-unggulan tersebut disinergikan lagi melalui Roadmap komoditi yang bersifat nasional.

Dari sanalah baru dikembangkan pusat-pusat inovasi yang spesifik dan tergantung pada karakteristik komoditi dan KIID-nya. Tidak seperti pengembangan rotan, roadmap industrialisasi rotan belum dibuat, roadmap dan masterplan KIID rotan, serta roadmap dan masterplan IUP rotan belum tuntas dan sinergi, pusat inovasi dibangun. Akhirnya yang terjadi adalah pusat inovasi tersebut justru menjadi pusat kreatif, karena kebingungan apa yang harus dikerjakan.

Tinggal kembali kepada Menteri Perindustrian dan jajarannya serta daerah-daerah, bagaimana menempatkan KIID dan IUP sebagai lokomotif industrialisasi di luar Jawa. Kecuali memang industrialisasi luar Jawa hanya sekedar memfasilitasi kepentingan investor asing, atau jargon politik belaka. Naudzubillahi min dzalik..

Bandung, 17 Februari 2013.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline