Lihat ke Halaman Asli

Kentut Kakek dan Nenekku...

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ulul heran menyaksikan keadaan kampung halamannya. Sepuluh tahun lebih ia tinggalkan merantau ke kota. Dan sekembalinya dari kota, situasinya sudah berubah. Pepohonan di kebun-kebun lahan kosong tak lagi rindang, malah sekarang berdiri bangunan besar, berbentuk balok. ”Pabrik peleburan timah, mas!” jawab pemuda yang ditanyanya.

Yang membuatnya lebih mengherankan lagi, hampir tak ada seorang pun yang mengenalnya, kecuali pak Kasan yang sering dihinanya ketika masih tinggal di kampung. ”Ulul, pie kabarmu? Lama sekali gak menengok rumahmu. Apa kau tidak rindu sama kakek dan nenekmu?”

Intonasinya tidak mencirikan rasa dendam, bahkan penuh kearifan. ”Alhamdulillah pak, kulo sae-sae mawon.Sampean pripun kabare?” Ulul menjawab sekenanya dengan bahasa ibu yang masih diingatnya. Tangannya menjabat pak Kasan yang kekar, maklum tangan petani. ”Sae.Apa kamu tidak rindu keluargamu?” Tangan yang biasa digunakannya mencangkul ditepukkan di pundak Ulul.

”Itulah alasan saya pulang, rasa rinduku mengalahkan kepentingan pekerjaanku sehingga terpaksa aku tinggalkan.” Diplomatis, layaknya seorang birokratis. ”Maaf pak, saya harus menemui kakek-nenek saya dulu...” refleks bapak tua itu mempersilahkannya.

*

Rumah tempatnya dibesarkan masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah kecuali cat rumah yang sudah kucel. Mengingatkannya ketika ia mengecetnya bareng kakeknya. Kakeknya tak berhenti bercerita mendongeng sembari mengecat. Dibuka dengan cerita tentang pasangan suami-istri yang menjual anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Persetubuhannya hanya dijadikan alat untuk melahirkan anak yang akan dijualnya.

Setelah itu dilanjut dengan kisah seorang anak yang hidup sebatang kara, yang hidupnya dihabiskan di jalanan dengan mengecrik tutup-tutup botol minuman bersoda, menodongkan tangan di kaca-kaca mobil. Dan setelah tumbuh dewasa ia menjadi bupati, yang dengannya ia mengetuk jendela-jendela budaya untuk dijualnya, dan hidup di sana.

Ulul juga masih ingat betul bagaimana kakeknya berkelakar seputar preman-preman perempatan jalan samping terminal. Katanya, preman-preman itu hanya pembual saja. Mereka sering merompak para pejalan kaki, atau siapa saja yang kebetulan sial karena ada operasi. ”Kamu tahu tidak untuk apa mereka merampok?” Tanya kakeknya.

”Untuk makan kan?” Polos Ulul.

”Pintar! Cucu kakek memang pintar. Tapi kamu tahu siapa yang memakan uang hasil palakannya?!” Ia tak memberi kesempatan pada cucunya untuk berpikir dan kemudian menjawab, ia sendiri yang menjawabnya. ”Untuk dimakan si korbannya!”

Ya, mereka bukan memalak sebenarnya. Tapi mereka mengajarkan pada korbannya untuk lebih memperhatikan keadaan si sekitarnya, mendidik untuk lebih peduli dengan para pengangguran. Tak jarang mereka meminta saran pada para korbannya tentang masa depan mereka. Sehingga datang seseorang yang jadi korbannya membukakan mereka lapangan pekerjaan. Dan sekarang preman-preman itu menjadi pengatur jalan berseragam.

Memori masa silam yang indah. Sekarang itu tinggal kenangan. Warna dindingnya tak sekilau dulu. Sekarang kusam. Sekusam pak Kasan yang setiap hari berjemur di tengah sawah dan hanya ditemani cangkul dan segelas teh.

Rasa herannya belum berhenti. Ia kembali diherankan oleh kakek-neneknya. Fisik mereka telah jauh berubah. Mungkin lima puluh persen berat badannya turun dibanding sepuluhan tahun silam. Tak kuasa untuk menitikkan airmata, airmata yang baru keluar dari matanya selama lebih dari sepuluh tahun. Airmata yang terakhir dikeluarkannya ketika ia meninggalkan mereka. Dan airmata itu ingin menyaksikan pertemuan kembali Ulul dengan kakek dan neneknya. Begitupun dengan keduanya.

Tak mampu mereka mengeluarkan kata-kata. Bagi mereka pertemuan ini terlalu berharga untuk berbicara. Hanya ketukan sendu dan isakan yang mengiringi. Tangis, tangis, tangis, tangis, dan tangis. Lalu tanya.

”Kamu sehat-sehat saja, nak? Kami selalu menunggu kepulanganmu”

”Terimakasih nek. Tapi, apa yang terjadi sama nenek dan kakek?” Mereka buru-buru mengusap airmata. Tak ingin memperlihatkan kesedihan. Dan semua berganti dengan senyum. Senyum yang sepuluh tahun lebih tertidur.

Sementara Ulul bernostalgia dengan kakeknya, nenek membuatkannya wedang teh. Khas kampungnya, malah mungkin khas daerahnya. Dalam perbincangannya, Ulul berhasil memancing kenangan dari kakeknya. Seakan ia berada pada masa sepuluh tahun silam. Kelakar dan cerita tentang sejarah masa silam maupun sekedar mendongeng.

Dhudd.... suara kentut khas kakeknya keluar. Kebiasaan yang sudah dikenal sejak ia dibesarkan dulu. ”Aduhh,, sayang sekali. Lupa kakek nggak bawa plastik.” Wajah penyesalan begitu kental tergambar.

”Untuk apa, kek?” Heran Ulul. Heran tak henti-hentinya mewarnai kepulangannya di kampung halamannya.

”Untuk menyimpan kentut kakek!” Sontak Ulul terbahak-bahak. Ternyata kehangatan keluarganya masih melekat. Canda tawa yang hilang selama dalam perantauan, ia ditemukan kembali di kampung halaman.

Kakeknya hanya tersenyum sipu. ”Kakek bisa saja.”

Bunyi langkah kaki yang mengiringi nenek masih dihafalnya. Kedua tangannya menodongkan nampan yang berisi tiga gelas wedang teh hangat, dan sepiring boled rebus. Yang ini pun hilang dalam sepuluh tahun perantauannya. Dan di sini ia menemukan kembali masa lalu yang bahagia.

Disambi yah, di kota kan nggak ada boled[1]!” Tawar nenek pada cucu tercintanya.

“Wahh, nenek selalu tahu selera saya. Terimakasih nek.”

Neneknya menatapnya sayang. Bagai seorang yang sedang memandang kekasihnya yang lama hilang, dan kini kembali. Sesekali Ulul bertabrakan pandang dengannya. Mengingatkannya wajah Azizah, kekasihnya, ketika bertatapan dengannya.

”Kakek dan nenek belum menjawab pertanyaan saya tadi. Kenapa tubuh kalian berubah sama sekali?”

Ada ketakutan di wajah keduanya. Seakan tidak ingin cucunya tahu. Dan cucunya tahu kalau ada sesuatu yang disembunyikan dari keduanya. Dalam hatinya bergeming kalau keduanya habis sakit dan Ulul tak dikabarinya. ”Pasti kalian habis sakit ya? Kenapa tidak bilang waktu sakit, sehingga Ulul pulang menjenguk kalian?”

’Bulan sabit’ kembali menerangi rumah mereka. Senyum-senyum lebar terhampar lagi. ”Tidak, kami tak apa-apa. Kami sehat saja.” Jawab nenek sembari menelan boled-nya.

”Syukurlah kalau betul begitu. Tapi kenapa tubuh kakek dan nenek kok berubah? Tak sesegar dulu ketika aku tinggalkan?”

”Ya wajar saja, usia kami sudah tidak muda lagi, tong!” Kakek mempertahankan ’bulan sabit’ di bibirnya. Ulul mengambil sepotong boled untuk dimakannya. Sumringah merekah di wajahnya. Ia baru saja merasakan kenikmatan yang telah lama hilang, dan kini ia rasakan kembali.

Kakeknya beranjak dari perkumpulan mereka. Setelah tak dilihatnya lagi, Ulul hanya mendengar suaru kentut beberapa kali, yang diselingi dengan ungkapan kelegaan dari sang kakek. Selanjutnya hanya kerosek plastik yang didengarnya, dan kakeknya kembali ke perkumpulan mereka. Melanjutkan nostalgia lama, yang mungkin tak pernah terpikir di benak mereka, terutama kakek dan nenek.

”Ayo makan yang banyak, setelah itu kau istirahat. Kamarmu sudah nenek bereskan.”

Puas dengan pelampiasan rindunya, ketiganya beranjak ke kamar masing-masing. Ulul kembali diherankan. Dalam rebahnya, ia hanya mendengar suara dhad-dhud-bess dari arah kamar kakek-neneknya. Suara kentut, kemudian desahan kelegaan/kepuasan, dan kerosek plastik. Tapi, itu tak ditanggapinya serius. Yang ia tahu bahwa setelah merasakan heran yang kesekian kalinya itu, ia sudah melewati hari dan memasuki hari yang lain. Seperti biasa setiap subuh ia selalu dibangunkan neneknya untuk berjamaah. Tapi sering tidak bangun daripada bangunnya.

Wedang teh akan menemani duduk santai mereka di depan televisi. Atau di samping radio. Dan pagi itu, ia menyaksikan lagi boled yang tersaji di atas piring yang sama seperti semalam. “Ayo tong, sarapan dulu. Maklum seadanya.” Ulul hanya berkerut dahi. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dengan kakek-neneknya. Apalagi ketika Ulul melihat gelembung plastik-plastik bertebaran di lantai kamar kakek-neneknya.

Ulul menanyakan menu sarapan paginya. Tapi tak ada jawab yang keluar. Hanya diam sipu di wajah keduanya. Tapi hal itu tak dibiarkan kakeknya begitu lama, dan ia segera membuka omongannya.

”Inilah makanan kami sehari-hari. Kami tak mampu membeli nasi, dan inilah makanan pokok kami sekaligus pekerjaan kami”

”Ya, kami sekarang pengangguran, usaha kami gulung tikar. Kami disapu krisis moneter 1998. Semua barang-barang berharga kami sudah ludes terjual. Kecuali rumah ini yang telah kami wariskan. Ini bukan lagi hak kami.”

”Satu juta satu bulan untuk biaya dua orang perkuliahan tak mencukupi, terkadang kami menambahkan untuk uang jajan mereka,” nenek menambahkan.

”Lalu darimana kalian mendapatkan uang, padahal kakek bilang sekarang kalian pengangguran?”

”Kami mengumpulkan kentut kami untuk kami jual ke kolektor. Dari sanalah kami bisa membeli boled, makanan pokok sekaligus mata pencaharian kami.”

”Kolektor?”

”Kolektor sumber energi alternatif!”

Ciputat, 20 Desember 2008

[1] Ubi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline