Pernyataan kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Yudian Wahyudi, yang mengusulkan agar anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) yang mengenakan hijab untuk melepas hijab demi keseragaman menimbulkan kontroversi dan banyak kritik di masyarakat. Hal itu jelas akan membuat polemik kegaduhan di tengah-tengah masyarakat yang saat ini mereka beriang gembira menyambut HUT RI ke-79 melalui pelaksanaan lomba agustusan di desanya masing-masing, pengadaan karnaval baik di tingkat desa hingga kecamatan, pelaksanaan lomba gerak jalan baik di tingkat kecamatan hingg kabupaten atau kota. Kenapa bisa mengusulkan pendapat yang bertolak belakang dengan visi lahirnya BPIP itu sendiri? Apakah hal tersebut untuk menarik perhatian bahwa lembaga ini ada? Ataupun memang ingin benar-benar ingin menyeragamkan supaya dengam adanya keseragaman pakaian bisa menciptakan kesatuan visual? ntah kita juga ngga tau, tapi hal tersebut menurut penulis pribadi tidak dibenarkan.
Sungguh ironi demi keseragaman mengabaikan kebhinnekaan yang sejatinya saling merangkul demi keberagaman
Pernyataan kontroversi tersebut langsung disambut oleh berbagai kritikan netizen sosial media, banyak pihak menilai bahwa pernyataan ini sensitif terhadap kebebasan beragama dan hak individu untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan keyakinan mereka. Dalam konteks Indonesia, yang merupakan negara dengan mayoritas Muslim dan menjunjung tinggi kebebasan beragama, pernyataan ini dianggap dapat melanggar hak konstitusional seseorang.
Sebagian kritikus juga berpendapat bahwa keseragaman dalam konteks seperti ini tidak seharusnya mengorbankan nilai-nilai kebebasan beragama. Justru, keragaman adalah salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang harus dihormati dan dirayakan.
Piagam Jakarta, Pancasila
Apakah dia lupa adanya piagam jakarta yang sila pertamanya berbunyi "ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" lahir dari kompromi golongan Islam da golongan nasinalis dalam Panitia Sembilan. Tujuan pembentukan sila pertama tersebut bertujuan untuk mengakomodasi aspirasi umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam dalam kenegaraan. Walaupun Indonesia bermayoritas Islam, hal itu tidak bisa memveto untuk tetap menerapkan syariat Islam, karena Indonesia ini memiliki keberagaman suku, ras, agama dan budaya, maka sila pertama diganti dengan "Ketuhanan yang Maha Esa", dengan alasan bahwa persatuan nasional, kesatuan bangsa, keberagaman jauh lebih penting.
Apakah dia lupa sedari dulu sejak era bapak Soekarno, Paskibraka membebaskan mereka yang negenakan jilbab atau tidak, seperti terlihat tampak ilustrasi di atas bahwa peringatan pertama HUT RI, Paskribraka yang memegang bendera tersebut mengenakan jilbab, yang artinya sedari dulu setiap individu diberikan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan amanat pancasila sila pertama, yang lima sila tersebut diambil dari piagam jakarta.
Jadi, dari perspektif hak asasi manusia dan kebebasan beragama, seharusnya setiap individu diberi kebebasan untuk mengekspresikan keyakinannya, termasuk dalam memilih pakaian. Keseragaman yang dikejar dalam konteks ini sebaiknya tidak mengorbankan prinsip-prinsip kebebasan beragama dan hak untuk berekspresi. Menghormati perbedaan, termasuk dalam penampilan, justru bisa menjadi cerminan keberagaman dan persatuan dalam kebhinekaan Indonesia.
Perlu diingat bahwa Pancasila, sebagai dasar negara, mengakui dan menghormati keberagaman agama, dan hal ini seharusnya tercermin dalam kebijakan dan pernyataan yang dibuat oleh lembaga negara seperti BPIP, apalagi dia yang mengusulkan pernyataan kontroversi merupakan kepala BPIP. Maka, sebelum adanya usulan, perkataam, pernyataan, alangkah baiknya ntuk memikirkan dampaknya terlebih dahulu apalagi yang berkaitan dengan kebebasan keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H