Lihat ke Halaman Asli

M Sholeh

Pengamat Masalah Pertanian dan Lingkungan

Indonesia Darurat (Sampah) Sedotan

Diperbarui: 3 Mei 2022   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran usai sudah, yang terbayang sisa-sisa lebaran selain kenangan silaturahmi, reuni dan insya Allah barokah yang melimpah, maka tentunya juga sampah. Sampah atau limbah dari pemudik maupun masyarakat yang ditinggalkan. Memang kegiatan mudik tak bisa dilepaskan darilimbah atau sampah baik diperjalana mudik/balik maupun selama lebaran itu sendiri yang tentunya banyak sisa-sisa makanan, wadah, alat ataupun limbah lainnya.

Selain limbah organik yang bisa diuraikan menjadi bahan yang aman bagi lingkungan tentunya ada juga limbah anorganik yang berpotensi mencemari lingkungan. Kali ini penulis hanya mengulas sedikit limbah sederhana yang kadang luput dari pengamatan, yaitu sedotan plastik. Sebelum Lebaran 2022, saya berkesempatan lunch atau maksi bersama rekan di salah satu restoran Jakarta. Tak seperti biasanya ada yang berbeda hari itu pramusaji tidak memberikan sedotan dalam paket minuman.

Kebijakan restauran tanpa sedotan seingat saya sejak 2018, tapi kenyataannya tak semua mematuhinya dengan alasan praktis atau tak penting. Inilah bentuk kepedulian restoran tersebut terhadap lingkungan. Kalaupun terpaksa membutuhkan para pembeli masih dapat meminta sedotan di counter pemesanan atau pesanan khusus, tetapi prinsipnya pemesanan umum sudah tanpa sedotan.

Tindakan sederhana tapi merupakan langkah bijak mengurangi sampah plastik di lingkungan sekitar. Memang tindakan kecil hanya mengurangi sedotan plastik yang tidak mudah terurai oleh proses alam akan berdampak besar terhadap lingkungan. Dari hasil riset ditemukan bahwa ternyata sedotan plastik merupakan salah satu dari 10 besar pencemar laut di Indonesia.

Sejarah Sedotan

Ternyata sedotan bukan produk modern, tetapi sejarah mencatat bahwa sedotan telah digunakan sejak tahun 3000 SM oleh bangsa Sumeria (bangsa Mesopotamia, sekarang disebut sebagai Irak. Pada saat itu sedotan terbuat berlapis emas dan batu lazuli biru dan digunakan untuk meminum bir melalui sedotam. 

Dalam perkembangannya sedotan berkembang dibuat dari jerami, logam, kertas dan akhirnya plastik pada tahun 1888. Jadi peradaban kuno khususnya para bangsawan yang menggunakan sedotan untuk acara-acara kebangsawanan.

Di abad modern ini sedotan hampir semua terbuat dari plastik yang memang relatif murah, ringan dan praktis, namun hal negatif dari plastik tersebut adalah tidak
ramah lingkungan. Sedotan memang sangat praktis dan mampu merubah cara orang minum dari gelas, cangkir, cup, mug, botol atau wadah air lainnya. Sektor kuliner nyaris tak ada yang lepas dari kebutuhan sedotan plastik meskipun sebenarnya belum pasti diperlukan.

Dulu sebelum marak sedotan, gaya minum seseorang biasa saja “menyeruput” secangkir kopi, atau minuman dari gelas atau botol. Tradisi di Tiongkok kuno bukan
hanya minum dari gelas saja bahkan minum langsung dari mangkok kala itu tak dianggap tak etis. Kini di jaman modern seiring perubahan gaya hidup dan cara makan dan minum, menenggak minuman dari botol menjadi kurang etis dibandingkan dengan minum dengan bantuan sedotan. Camkan ini kemajuan atau kemunduran? Dan lebih prihatin lagi, sedotan plastik ini hanya dipakai sekali terus buang menjadi sampah non degredable.

Darurat Sedotan Plastik

Dari berbagai riset diperoleh dari data bahwa Indonesia saat ini tengah menghadapi masalah darurat sampah sedotan plastik! benarkah?Ditengarai dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta, Indonesia menghasilkan 93 juta bantang sampah setiap hari atau sepanjang 16.784 kilometer atau setara jarak dari Jakarta ke Mexico City di benua Amerika, jika dihitung jarak lokal, jumlah limbah sedotan ini mencapai 28 kali panjang jarak Antara Jakarta-Solo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline