Lihat ke Halaman Asli

Shalehuddin Al Ayubi

Pengembang Teknologi Pembelajaran

Hadirkan Kisah untuk Pendidikan Karakter Ananda

Diperbarui: 11 Maret 2023   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Media sosial saat ini sedang dibanjiri kisah tentang anak yang menganiaya temannya sendiri, hingga tak sadarkan diri. Kisah penganiayaan bahkan dilatarbelakangi cerita yang pada umumnya dihadapi oleh orang dewasa. Apa yang terjadi pada diri anak-anak kita? Siapakah teladan mereka? Mengapa mereka bisa melakukan hal bengis bin keji yang tidak sepatutnya mereka lakukan di usia mereka yang masih belia?

Doni Koesoema (2007) dalam buku Pendidikan Karakter mengatakan bahwa melalui nilai-nilai, manusia menera pengalaman masa lalunya, menghayati kehidupannya masa kini, dan menjawab tantangan ke depan bagi tugas penyempurnaan dirinya sebagai makhluk yang hidup dengan orang lain dalam dunia.

Pengalaman masa lalu sejatinya bisa menjadi sarana untuk membelajarkan anak/ murid kita, agar kemudian anak-anak kita yang belum memiliki pengalaman dalam menghadapi kerikil tajam kehidupannya, dapat menyikapinya dengan sikap manusia berakhlak.

Sejarah: Pengalaman Masa Lalu yang Perlu Dikisahkan untuk Penguatan Karakter Anak
Kata para ulama "Sejarah itu pasti berulang". Menghadirkan sejarah dalam dialog orang tua/ guru dengan anak/ muridnya merupakan cara untuk menanamkan keimanan dan rasa kemanusiaan yang kuat dalam diri anak. Kisah yang menarik dan diolah dengan sepenuh jiwa akan melahirkan rasa ketertarikan anak untuk mendengarkan.

"Kisah-kisah ibarat tentaranya Allah, dan dengannya Allah menguatkan hati para walinya". Ketika kita mengaji dan membaca terjemah Al Qur'an, kita akan membaca kisah-kisah anbiya yang menggelorakan jiwa, kisah perjuangan, kesedihan, empati dan keshalihan sosial, kisah tentang kejayaan terangkum dalam  114 surat yang ada.

Imam Abu Hanifah mengatakan "kisah dari ulama dan pesonanya lebih aku cintai daripada fiqh". Dari kisah-kisah itulah sejatinya kita belajar lebih mendalam tentang adab, ilmu syariat dan penguatan hati. Jika Imam Abu Hanifah menyukai kisah, maka kita sebagai orang tua maupun guru hendaknya mencontoh bagaimana sang imam mampu menarik makna dari berbagai kisah.

Kisah bukanlah dongeng, ia bersumber dari sejarah umat manusia yang secara fakta memang terjadi. Sehingga tidak ada cerita rekaan dalam sebuah kisah. Maka belajarlah dari sejarah. Sejarah para anbiya, sejarah tokoh-tokoh terbaik di negeri kita, atau bahkan sejarah dari kakek dan nenek kita yang dapat menginspirasi anak/ murid kita, mengambil hikmah dari untaian kisah yang kita bisikkan ke dalam relung hati mereka.

Wahai para guru dan Ayah Bunda, Berkisahlah pada anakmu, hadirkan ruhmu dalam dialog-dialog pembelajaran
Ayah bunda dan para guru bisa belajar dari sosok seorang tabiin, Urwah bin Zubair. Ia adalah seorang fuqaha. Ia terkenal dengan kisahnya ketika menjadikan sholat sebagai anastesi beliau saat diamputasi. Urwah bin Zubair tidak mendapatkan sentuhan secara langsung dari Nabi. Meskipun demikian, Urwah merupakan sosok yang terdidik dari metode terbaik dengan sosok guru yang hadir dalam hati murid.

"at-thariqah ahammu min al-maddah, wa al-mudarris ahammu min at-thariqah, wa ruhul mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi. "

Metode penting, tapi guru jauh lebih penting dari metode, dan ruh guru adalah kunci dari guru itu sendiri. Guru tidak hanya menyampaikan materi, guru harus mampu menurunkan teori kepada amal nyata. Guru yang menghadirkan ruhnya dalam pembelajaran, akan selalu mencari makna kontekstual sesuai teori yang ia ajarkan.

Keterkaitan Ilmu dan Amal
Urwah memiliki cita-cita menjadi seorang ahli ilmu yang mampu mengamalkan ilmunya. Ilmu dan amal harus saling berkaitan. Ilmu adalah washilah untuk beramal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline