Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Sebagai negara yang subur nan kaya akan sumber daya alam yang dikandung membuat ibu pertiwi sejak dulu diperebutkan bangsa bangsa di dunia.
Kesuburan negara ini membawa keberkahan tersendiri bagi bangsa yang hidup di dalamnya, karena kesuburannya pun membawa bangsa ini kepada budaya agraris dalam mencukupi atau melangsungkan kehidupan ekonomi. Namun di sisi lain karena kesuburannya pun juga membawa dampak negatif bagi kemajuan bangsa ini, hal ini terjadi hanya jika bangsa ini terlalu terlelap dan terbuai dalam kenyamanan yang dihadirkan oleh bumi pertiwi ini tanpa mau mengubah nasibnya sendiri.
Akar budaya masyarakatnya yang kadang "membekukan" semangat bangsa ini dalam memperbaiki dalam segi kualitas hidup, khususnya dalam menempuh jalan pendidikan. Banyak dari generasi penerus bangsa ini lebih memilih putus sekolah, hal ini terbagi menjadi dua golongan berdasarkan pengamatan penulis;
1. Memilih putus atas dasar motivasi sendiri
Banyak dari generasi penerus bangsa khususnya yang masih hidup di daerah yang kental dengan budaya agraris tradisional, mereka memperoleh motivasi biasanya melalui pengamatannya sendiri atau sugesti orang lain yang menimbulkan sebuah pemahaman akan kurangnya peran pendidikan dalam signifikansi perbaikan kualitas hidup suatu individu.
2. Putus sekolah karena desakan ekonomi
Generasi penerus bangsa ini juga tak jarang menghadapi situasi yang teramat sulit ketika ingin melanjutkan jenjang pendidikannya tatkala kondisi ekonomi melilit diri dan keluarganya, yang mewmaksanya menggugurkan impiannya.
Inilah yang akan menjadi tujuan artikel ini agar mampu menumbuhkan jiwa altruis kepada yang telah "terdidik" untuk mau mengabdikan dirinya menciptakan sarana menempuh pendidikan tanpa membuat masyarakat yang kurang mampu terusik soal biaya serta segan untuk menumbuhkan motivasi pada setiap individu generasi penerus bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu hak semua bangsa khususnya bangsa Indonesia, tanpa pendidikan bangsa yang memiliki kekayaan berlimpah itu tak akan bisa mengolahnya untuk bersaing dalam dunia internasional, mereka hanya akan bisa menjadikanya pemenuh kebutuhannya sendiri.
Sumber daya alam yang sangat berlimpah pada mulanya di anugerahkan Tuhan untuk kekayaan negeri ini bisa berubah menjadi kutukan seperti yang dikemukakan oleh Richard Auty seorang ekonom dari Lanchester University yang mengemukakan adanya Resource curse dalam teorinya yang menyatakan bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama yang tak terbarukan seperti minyak dan hasil tambang, cenderung lebih lambat pertumbuhan ekonominya jika dibandingkan dengan negara yang terbatas sumber daya alamnya.
Masalah yang dipersoalkan dalam teori "kutukan Sumber Daya alam" adalah adanya ketidak mampuan suatu bangsa dalam mengolah sumber daya alam yang dimilikinya. Kurangnya kemampuan yang dimiliki suatu bangsa dalam mengolah sumber daya alamnya dikarenakan kurang meratanya kesempatan dalam mengenyam bangku pendidikan guna meningkatkan kualifikasi dari suatu bangsa.
Dengan meningkatnya kualifikasi pendidikan yang dimiliki suatu bangsa diharapkan dapat menumbuhkan SDM yang mampu melakukan pembaruan/atau suatu inovasi yang berkaitan dengan pemanfaatan SDA yang ada di bumi pertiwi ini, sehingga budaya agraris tradisional yang telah mengakar kuat di negeri ini bisa berkembang lebih maju dan mampu melangkah menuju agraris yang berbasis industri.
Dengan berkembangnya sistem perekonomian agraris yang sudah melangkah berbasis industri maka di negeri tak hanya bergerak pada industri hulu saja melainkan telah menguasai industri hilir. Dengan berkembangnya industri-industri agraris yang mampu memproduksi berbagai kebutuhan bangsa dari mulai menyuplai kebutuhan primer hingga tersier dapat memberikan manfaat yang sangat banyak dari mulai pengurangan impor kebutuhan-kebutuhan yang sejatinya bahan mentahnya ada di negeri ini serta dapat menyerap tenaga kerja yang banyak.