Pada tahun 2004, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan Musyawarah Kerja Nasional di Bali. Pemilihan lokasi ini pun menuai kritik, hal itu dikarenakan dianggap tidak mencerminkan PKS yang notabene dikenal sebagai partai islam. Namun, pemilihan Bali sebagai lokasi bukan tanpa hitung-hitungan. Jajaran elite PKS kala itu ingin mencitrakan PKS sebagai partai semua kalangan dan menjadi partai terbuka.
Wacana PKS sebagai partai terbuka mulai diwujudkan terbatas menjelang pemilu 2009 dengan slogan 'PKS partai kita semua'. Iklan-iklan kampanye PKS pun mulai terlihat lebih universal kala itu. PKS mulai terang-terangan menunjukkan keterbukaannya pada tahun 2010. Kala itu, PKS mulai membuka perekrutan kader non-Islam dan menghilangkan syarat syahadat bagi calon kader yang non-Islam.
Langkah progresif dan revolusioner Ketua Umum PKS Lutfi Hasan Ishak (2010-2013) dan Anis Matta (2013-2015) cs menjadi partai terbuka, heterogen, plural, dan majemuk ternyata tidak begitu mendapat restu dari sebagian kalangan internal PKS (baca: kelompok keadilan).
Arief Munandar dalam disertasinya, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menerangkan bahwa usaha kader-kader PKS yang progresif dan menginginkan PKS menjadi partai terbuka mendapat pertentangan.
Hal tersebut tercium ketika muncul maklumat larangan terhadap kader PKS untuk mengahdiri deklarasi dukungan Anis Matta (baca: kelompok sejahtera) dan beredarnya dokumen berjudul Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS.
Terpilihnya Sohibul Iman sebagai Presiden PKS sejak 10 Agustus 2015 seolah-olah membuat PKS kembali ke titik nol. PKS yang sebelumnya telah berusaha membuka diri, inklusif, dan majemuk, kembali ke adagiumnya al-jama'ah hiya al-hizb huwa al-jama'ah (jama'ah adalah partai dan partai adalah jema'ah) serta kembali menjadi tertutup, ekslusif, dan hanya menjadi identitas kelompok/agama tertentu. Pembersihan internal PKS dari kelompok-kelompok progresif yang menginginkan PKS menjadi partai terbuka pun dilakukan.
Dalam laman berita merdeka.com, 8 April 2016, 'Anis Matta dan Fahri Hamzah, dua sohib yang disingkirkan PKS', dijelaskan kedekatan Fahri dan Anis yang merupakan faksi sejahtera kepemimpinan Ustaz Hilmi Aminuddin (Ketua Majelis Syuro PKS) kala itu mulai disingkirkan.
PKS di bawah kepemimpinan Sohibul Iman dan Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Aljufrie yang melakukan pembersihan. Puncaknya, konflik meluap ketika PKS memutuskan memecat Fahri dari seluruh jenjang di PKS.
Kemunduran PKS dari partai terbuka menjadi partai yang ekslusif semakin terlihat pasca tumbangnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok). PKS menjadi partai terdepan yang memanfaatkan euforia politik identitas dengan memerintahkan kader-kadernya untuk mengikuti Reuni 212 yang berjilid-jilid.
Hal ini seperti keterangan tertulis Sohibul Iman yang menegaskan, dukungan terhadap Gerakan 212 menjadi tanda bahwa PKS akan terus menjaga dan mendukung para ulama.
Setelah itu, Presiden Joko Widodo yang dilabeli aktor dibalik kriminalisasi ulama dihadap-hadapkan dengan Prabowo Subianto yang dilabeli capres pilihan ulama melalui Ijtima Ulama yang digerakkan oleh ulama-ulama yang notabene tergabung dalam gerakan 212.