Pandangan Natsir Tentang Negara
M. Sadli Umasangaji
(Peserta Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute Angkatan IX 2021)
Pendahuluan
Muhammad Natsir merupakan seorang ulama, negarawan, intelektual, pembaharu, dan politikus muslim Indonesia yang disegani. Selain di bidang pendidikan, Muhammad Natsir banyak berkiprah di bidang politik. Aktivitas politiknya dimulai pada awal tahun 1940 dengan menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII). Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), dia menjadi Kepala Bagian Pendidikan Kota Madya Bandung, merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Di masa pendudukan Jepang, Natsir aktif dalam kepemimpinan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang. Menurut Nastir, modernisasi politik Islam merupakan sikap dan pandangan yang berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, yang disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban manusia. Dalam terma politik inilah, ia mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam (Silvia, G, 2015).
Natsir melewati masa yang panjang, yaitu mulai dari masa penjajahan, pemerintahan Orde Lama, sampai dengan Orde Baru. Perjuangan panjangnya itu tidak berjalan mulus tanpa halangan, tetapi berkali-kali beliau harus dihadapkan pada berbagai permasalahan sulit. Perjuangan Natsir dan sumbangsihnya bagi negara banyak mengalami pasang surut, mulai dari jasa-jasa terhadap bangsanya sampai dimusuhi oleh pemerintah karena pemikiran dan tindakannya yang dianggap membelot (Raspati, HI, 2012).
Natsir merupakan merupakan tokoh pejuang bangsa sekaligus pejuang Islam. Natsir adalah seorang pemikir, negarawan, dan politikus yang gigih berjuang untuk tanah airnya dan juga memperjuangkan Islam baik di taraf nasional maupun internasional (Raspati, HI, 2012). Karakter Muhammad Natsir yang menonjol menjadikannya berperan dalam kegiatan-kegiatan besar seperti ketua Jong Islamieten Bond di Bandung, Menteri Penerangan, Perdana Menteri, dan Ketua Partai Masyumi. Kapasitasnya tidak hanya diakui di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Pada tahun 1980 Muhammad Natsir dianugerahi penghargaan oleh King Faisal atas pengabdiannya pada Islam. Selain itu atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Muhammad Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaan negara-negara Islam di Afrika Utara (Muslimah, H, 2008).
Pandangan Natsir Tentang Negara
Pada pertengahan 1949, Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan diplomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.