Realita Sosial dalam Kasus Gizi Buruk
M. Sadli Umasangaji
Beberapa orang yang menggunakan seragam berwarna krem, keki, berbaju dinas, tanda sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Terlebih jauh ternyata petugas kesehatan dari salah satu Puskesmas X yang turun pelacakan di Desa B. Di saat pelacakan menarik orang-orang yang memakai baju seragam ini menemukan seorang anak yang dengan badan berbungkus kulit, bermuka “kelihatan tua”, berambut kusam, tipis dan jarang, sang bayi pun terlihat rewel dan cengeng, sering-sering menangis. Nafsu makan sang bayi juga berkurang. (Lihat Supariasa, 2002 tentang tanda-tanda klinis marasmus).
Pandangan lebih jauh ternyata sang bayi memiliki orang tua yang masih muda, sang ibu ternyata sedang melanjutkan studi pendidikan. Sang ayah ternyata telah pergi meninggalkan mereka, tak lagi bersedia bertanggung jawab. Betapa mirisnya. Kemungkinan keluarga ini menikah karena married by accident. Sang bayi harus dirawat neneknya. Neneknya sudah tua. Sang bayi bahkan kadang diberi hanya air. Alasan keluarganya karena tak mampu membeli gula, apalagi susu.
Setelah itu karena kejadian demikian sang petugas kesehatan meminta keluarga kasus untuk dirujuk ke rumah sakit X terdekat. Bahkan sang petugas bersedia membantu keluarga kasus untuk bersama-sama merujuk ke rumah sakit terdekat. Sang keluarga kasus menolak dengan halus dengan berbagai alasan, tak ada biaya, anak masih tidur, tidak ada yang jaga nanti, mau ke kebun dan alasan lainnya. Keesokkan petugas datang lagi untuk meminta sang anak dirujuk agar diberikan perawatan. Dengan menjelaskan akan membantu, bahkan pelayanan kesehatan di daerah X gratis, tanpa biaya. Sang keluarga masih menolak. Petugas memberikan dua opsi, pertama, tetap rujuk, rawat inap. Kedua, rawat jalan dengan pemberian susu.
Berselang kejadian itu, mirisnya media X yang harus menjadi sumber informasi positif bagi masyarakat mulai mencari berita. “Mungkin” tujuan sebagai “lahan” berita. Sang wartawan memandang ini sebagai “kasus” untuk “menggugat” Sang Pimpinan Dinas X terkait. Sang pimpinan kelabakan dengan media, khawatir. Tanpa pandang bulu kinerja petugas atau staf dibawahnya. Marah menjadi jalan solusi. Sang Bupati tahu, marah-marah pada sang kadis. Sang kadis marah lagi pada sang petugas. Sang “pencari berita” juga tak melihat skema diatas, hanya yang penting beritakan bahwa sang petugas tak becus bekerja. Titik. Itu yang diberitakan. Siapakah yang patut disalahkan? Begitulah realita. Kinerja?
Hampir semua kasus yang terjadi identik dalam tiga ranah, gizi sangat kurang, pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua. Semisal dalam beberapa kasus, pendidikan orang tua anak berpendidikan SD, dan pekerjaan orang tua sebagai “petani”. Perlu diketahui ada tiga indikator dalam melihat status gizi balita, diantaranya yang utama BB/U (Berat Badan menurut Umur), PB atau TB/U (Panjang atau Tinggi Badan menurut Umur), dan BB/PB atau TB (Berat Badan menurut Panjang atau Tinggi Badan) ditambah IMT /U (Indeks Massa Tubuh menurut Umur). Empat indikator ini yang akan menjadi rujukan untuk melihat status gizi balita.
Faktor Berpengaruh
Menurut Suhardjo (2003) dalam buku Perencanaan Pangan dan Gizi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi masalah gizi, diantaranya, faktor ekonomi, budaya, dan fisiologi. Pertama, faktor ekonomi, kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya. Kedua, faktor budaya. Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan, kebiasaan hidup yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Semisal bahan-bahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. (Suhardjo, 2003).
Ketiga, faktor fisiologi dan infeksi. Faktor fisiologi dalam kebutuhan gizi atau kemampuan dalam metabolisme zat gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pemanfaatan pangan oleh tubuh. Ibu hamil atau menyusui yang mengalami kurang gizi akan mempengaruhi janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya. Berikutnya antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanismenya.