Tahun 2019 silam, ketika melakukan "ekspedisi spiritual" jejak sejarah di tanah Jawa. Berbalut kemeja bergaris biru dengan songkok hitam yang terpotret dalam foto, saya menapaki jalan yang dulunya dirintis oleh salah satu para penyiar Islam di bumi Nusantara. Ditemani pakde, Kami mengunjungi sebuah tempat bersejarah yang tersembunyi di Jalan Menara, Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah makam Sunan Kudus bersemayam, menanti para peziarah untuk menghormati jasanya dalam menyebarkan cahaya Islam di bumi Nusantara.
Ketika mulai memasuki kompleks makam, kami seakan terbuai dalam kemegahan arsitektur bernuansa Hindu-Jawa yang melebur dengan keindahan seni Islam. Gapura yang menjulang tinggi bak pintu gerbang menuju dimensi lain memanggil kami untuk menyaksikan secara langsung bagaimana akulturasi budaya terjadi dengan begitu indah dan harmonis di sini.
Sewaktu menyusuri jalan setapak menuju makam utama, kami dikelilingi oleh bangunan-bangunan megah yang dihiasi ukiran-ukiran rumit bernuansa Hindu dan kaligrafi Arab yang memancarkan aura khidmat nan sakral. Saat itulah kami menyadari bahwa tempat ini bukan sekadar kompleks pemakaman biasa, melainkan sebuah monumen peradaban yang menyimpan kisah panjang penyebaran Islam di tanah Jawa.
Seperti yang dilansir pada situs Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, Masjid Kudus yang juga dikenal sebagai Masjid Al-Aqsha, dibangun pada tahun 1685 oleh sosok berpengaruh, Syekh Jafar Shodiq atau Sunan Kudus. Lembaran sejarah pun diabadikan dalam ukiran batu bata berwarna merah, bertuliskan aksara Arab yang menyebutkan tahun 956 Hijriah sebagai tahun berdirinya masjid ini serta ketinggian menara tersebut mencapai 17 meter.
Bangunan ikonik ini menjadi simbol peleburan budaya yang harmonis, di mana arsitektur Jawa, Hindu, dan Islam berpadu dengan indahnya. Kita diajak untuk mengagumi akulturasi budaya yang terjadi di masa lampau. Bangunan ini menjadi pengingat akan penyebaran Islam yang ramah, menghargai kekayaan lokal, serta mempersatukan keragaman dalam satu ikatan erat.
Berdasarkan jurnal penelitian yang berjudul "Akulturasi Budaya Masjid Menara Kudus Ditinjau dari Makna dan Simbol" karya Aufa Fasih Azzaki, dkk. Sebelum kehadiran Sunan Kudus, wilayah Kudus dihuni oleh masyarakat Hindu. Namun, Sunan Kudus sendiri menggunakan pendekatan halus tanpa menghilangkan budaya lokal. Pada perayaan Idul Qurban misalnya, beliau memperkenalkan tradisi menyembelih kerbau atau kambing sebagai bentuk penghormatan, menghindari sapi yang dianggap suci dalam keyakinan masyarakat Hindu.
Bahkan terlihat pada kehadirantajuk dan gapura, simbol-simbol budaya Hindu yang menyatu dalam harmoni. Sunan Kudus berhasil menanamkan bibit Islam dengan cara yang begitu lembut, menyatu dengan kekayaan lokal, hingga menjadikan Masjid Menara Kudus sebagai monumen akulturasi budaya yang menawan.
Dan seperti yang dikutip dari jurnal penelitian yang berjudul "Bentuk dan Makna Ornamen Lawang Kembar Masjid Menara Kudus" karya Heri Hermanto dan Usria Masfufah, Menara Kudus bukanlah sekedar candi biasa, karena fungsinya telah diubah. Dari yang semula menjadi tempat penyimpanan abu jenazah para raja dan penyembahan roh leluhur, kini berganti menjadi tempat adzan yang mengumandangkan kebesaran Islam. Sebuah proses Islamisasi fungsi candi yang luar biasa, menjadikannya Menara adzan yang mengingatkan kita pada kejayaan Arsitektur Islam Nusantara.