Nafas ngos-ngosan jantung deg-degan, ditambah kepala yang dikellingi bintang-bintang alias pusing tujuh kelling. Begitulah keadaan diri saya, saat pertama kali menulis postingan ini. Tidak tahu, mau menulis apa? Saya biarkan saja jemari ini bergoyang-goyang di atas laptop. Pokoknya mengetik terus bak air mengalir. Apa saja yang terlintas di batok kepala ini, saya langsung tulis. Sambil menunggu datangnya inspirasi, saya selalu ditemani oleh tiga sekawan yang setia setiap saat, bukan pengharum ketiak lho! Kayak iklan itu, setia setiap saat – rokok, korek api, dan kopi.
Alhasil, bukannya inspirasi yang datang, tapi, rasa lapar yang mengguncang kampung tengah ini! Padahal, tadi pagi saya suda sarapan. Coba bayangkan, kolaborasi nasi kuning dan mie instan. Terus, saat ini ditambah secangkir kopi hitam, pahit lagi, tapi rasanya,..hhhmmmm enak gila! Lantas, kok lapar? Mungkin karena terus-terus berpikir tentang apa yang mau ditulis?
Nah, akhirnya menyala juga lampu di otakku alias inspirasi itu datang juga. Mau tahu berapa lama inspirasi itu datang? Lamaaaaa sekali, hampir dua jam! Seperti biasa, jika ingin mencari berita, saya selalu menggunakan jasa Mbah Google, apa saja yang kita inginkan, mulai dari berita politik yang selalu mengjungkirbalikan logika saya hingga berita ekonomi tentang krisis yang membuat saya semakin tidak pede menyongsong hari esok. Setelah menyapa Mbah Google, dia pun menyapa saya, “Komodo”.
Sebelum mengupas tentang komodo, saya perlu memproklamirkan dulu bahwa saya bukan pendukung siapa-siapa. Kenapa harus memproklamirkan diri? Karena berbicara komodo maka tidak terlepas dengan sosok seseorang: kumis tipis, kacamata, tubuh kecil tapi lincah, dan cara bicara yang blak-blakan. Dialah Duta Komodo, Jusuf Kalla yang akrab disapa JK. Sumpah, saya bukan pendukungnya, dan saya tidak tertarik dengan politik yang katanya banci (abu-abu) itu!
Terlepas dari hiruk-pikuk kontraversi komodo yang pernah ditulis secara bersambung-sambung dalam Kompasiana, entah itu pro atau kontra, mari kita melihat secara objektif. Setelah komodo ditetapkan sebagai tujuh keajaiban dunia, siapa yang diuntungkan? Apakah Yayasan New7 Wonder, operator selular, masyarakat NTT, bangsa Indonesia, atau mendongkrak kepopuleran JK? Saya tidak mau pusing! Kira-kira siapa yang dirugikan? Apakah yang mengirim SMS atau jangan-jangan pemerintah dalam hal ini Kemenbudpar? Juga, tidak ambil pusing!
Saya lebih tertarik dengan diri saya, sedikit narsis kan tidak apa-apa. Mengapa saya? Karena saya merasa senang Komodo bisa menang. Walau hanya mengirim dua kali saat masih Rp 1.000,- dan mengirim SMS sebanyak tiga kali saat Rp 1,- Tentu, saya juga punya andil. Dengan jumlah Rp 2.003,- sebanding dua batang rokok, bagi saya, tidak berarti apa-apa. Coba bandingkan dengan uang saya yang ditilep oleh koruptor. Mengapa saya mau kirim SMS, apakah karena nasionalisme? Hahaha….. Terlalu jauh! Jangan-jangan saya menyombongkan diri bahwa saya juga kirim SMS? Apapun penilaian Anda, saya cuma mau katakan apa yang diucapkan oleh idola saya, “GITU AJA KOK REPOT…!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H