Sejak Islam masuk ke Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya, pada abad pertama Hijriah sampai pada tahun 1900, pengajaran Islam berlangsung secara sederhana yang bertujuan agar umat Islam memahami rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam, pandai melaksanakan salat, puasa, dan ajaran-ajaran dasar Islam lainnya. Kemudian, mulailah dilaksanakan pengajaran ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, dan pelajaran bahasa Arab secara berangsur-angsur. Kajian Hadis secara khusus belum dilakukan walaupun di sela- sela pelajaran Islam tersebut sudah barang tentu masuk hadis secara sporadis sesuai dengan keperluan pendalilan dalam berbagai bidang ilmu yang diajarkan karena Hadis merupakan sumber kedua dari ajaran Islam.
Adapun penyebab kurangnya perhatian ulama Indonesia, khususnya dan ulama Nusantara umumnya terhadap hadis paling tidak disebabkan oleh tiga faktor, yaitu (1) bermazhab, (2) kurangnya pakar, dan (3) kurangnya literatur dan akses untuk mendapatkan informasi hadis. Pada umumnya rakyat Indonesia mengikuti mazhab, khususnya mazhab Syafi'i. Karena itu, mereka tidak perlu mencari Hadis untuk menetapkan suatu hukum. Mereka cukup dengan kitab-kitab muktabarah dan tidak menelusurinya sampai kepada nas Alquran dan hadis, kecuali dalam kasus-kasus tertentu untuk tujuan menguatkan pendapat mereka. Untuk beberapa masa terjadi kelangkaan ulama atau pakar Hadis. Demikian juga kurangnya literatur hadis di masa lalu dan belum tersedianya sarana untuk mendapatkan informasi Hadis secara mudah.
Kajian hadis mendapatkan perhatian kembali pada paruh terakhir abad ke-19 dengan dimasukkannya kajian hadis dalam kurikulum pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah. Kajian hadis di pesantren lebih ditekankan pada pengajaran materi hadis yang berkaitan dengan pengamalan ajaran Islam di berbagai bidang, seperti: aqidah, ibadah, dan akhlak. Sedangkan kajian terhadap ilmu hadis sebagai alat untuk meneliti kualitas hadis masih mendapatkan perhatian kecil. Perhatian yang lebih besar terhadap ilmu hadis muncul menjadi kebutuhan ketika organisasi-organisasi Islam yang menyebut diri mereka sebagai pembaharu mulai didirikan.
Dalam aspek pengkajian hadis di Indonesia, ormas-ormas yang bebas mazhab memberikan kontribusi dalam pengembangan kajian hadis lebih langsung dan lebih kontributif daripada ormas-ormas yang bermazhab. Karena itu, terlepas dari setuju atau tidak dengan keputusan fatwa atau tarjîh yang dilakukan kedua ormas yang tidak bermazhab ini, bagaimanapun Muhammadiyah dan Persis dapat dipandang sebagai pembuka peluang bagi perkembangan kajian hadis sesudahnya.
Selain itu, pada abad ke-19 juga baru muncul beberapa ulama baru, seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Kyai Ahmad Rifai, Syaikh Nawawi Al-Bantani, dan Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, dan ulama lainnya. Di antara para ulama tersebut, ulama yang mendalami ilmu hadis adalah Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dan Syaikh Nawawi Al-Bantani tercatat sebagai ulama yang menulis kitab seputar ilmu musthalah hadis. Diantara karya Syaikh Mahfudz At-Tarmasi dalam bidang hadits yaitu kitab Manhaj Zawi An-Nazhar bi Syarh Manzhumah Ilmil Atsar, Al-Minḥatul Khairiyyah fi Arba‘ina Haditsan, Al-Khil‘ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Minhah al-Khairiyyah, Kifayahtul Mustafid ‘ala min Al-Asanid. Adapun karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam bidang hadis yaitu kitab Tanqihul Qaul fi Syarh Lubab Al-Hadits. Kitab ini memaparkan nama-nama perawi hadis dan sanadnya serta menyertakan status hadis yang terdapat dalam kitab tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H