Lihat ke Halaman Asli

Dilema Calon Guru

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

DILEMA CALON GURU

“Selamat ya, kamu diterima di SMA Negeri terfavorit di kota ini”, kata Tati teman sekelasku sejak kelas 1 SMP tergopoh-gopoh menyalamiku di depan gerbang sesaat aku turun dari angkutan kota.

“Yang benar, Tat. Kamu sendiri bagaimana?” sergahku.

“Kalau kamu tidak diterima, lalu sekolah ini mau menerima yang seperti apa? Tuh, namamu tercantum di paling atas daftar pengumuman. Artinya kamu peringkat satu. Selamat ya. Alhamdulillah aku juga diterima. Tapi peringkatku di bawahmu.”

“Alhamdulillah, selamat juga ya?”

“Semoga nanti bisa sekelas lagi, ya War”

“Amiin”.

Aku segera menuju papan pengumuman yang tertempel di sebuah papan tulis panjang di depan sebuah ruang besar yang dikerumuni banyak pendaftar. Benar kata Tati, namaku terpampang di deretan paling kiri, paling atas. Padahal seingatku aku mendaftar di sekolah itu menggunakan Danem (Daftar Nilai Ebtanas Murni) fotocopy, karena yang asli sudah aku gunakan untuk mendaftar di sekolah lain. Ah ya, waktu itu tahun 1985 adalah pertama kali ada ujian nasional di tingkat SMP yang disebut EBTANAS dan hasil EBTANAS itu bisa dipakai untuk mendaftar sekolah SLTA di maksimal tiga sekolah berbeda. Istilahnya, nyabang. Tapi aku hanya mendaftar di dua sekolah, SMA Negeri Purbalingga, pilihanku sendiri dan SPG Negeri Banjarnegara, pilihan orang tuaku.

Sederhana saja sebenarnya jalan pikiranku, dengan sekolah di SMA nantinya aku bisa mencapai cita-citaku kerja di kantor, seperti mas Pardi, kakak dari teman sepermainanku di desa yang sudah jadi “orang” di Jakarta dan setiap kali mudik Lebaran membawa serta seluruh keluarganya dengan mobil pribadinya. Sebuah pemandangan yang langka di desaku kala itu. Orang yang punya sepeda motor atau bahkan mobil hanya bisa dihitung dengan jari.

Sebenarnya guru Matematika SMP-ku, pak Basri dan pak Pujianto menyarankanku mendaftar di SMA 1 atau SMA 2 Purwokerto. Melihat Danemku yang konon tertinggi se-kabupaten, rasanya mustahil kalau ditolak, begitu kata pak Basri menyemangatiku sesaat setelah aku menerima Danem SMP ketika itu. Aku hanya mengiyakan saran guruku itu tak sepenuh hati, karena memang aku tak berminat sekolah di sana. Bukan apa-apa, di kota pasti biaya sekolah dan biaya hidupnya mahal. Sementara ayahku hanya seorang perangkat desa dan petani dengan penghasilan hanya mengandalkan hasil panen dari tanah bengkok yang tadah hujan.

Lain pak Basri, lain pula kata pak Cipto, pak Lurah di desaku. Beliau adalah atasan dari ayahku di kantor atau balai desa. Inilah masalahnya. Pak Lurah memberi masukan kepada ayahku panjang lebar, yang intinya bahwa sekolah yang cepat dapat pekerjaan ya di SPG.

“Lulus pasti jadi guru, meski wiyata bhakti dulu. Kalau SMA, apa ada jaminan setelah lulus langsung kerja di kantor?” Begitu kata pak Lurah sebagaimana ditirukan ayah, ba’da Subuh sebelum berangkat mendaftar.

“Tapi pak, aku merasa tidak bisa dan tidak suka jadi guru. Jadi guru di desa itu berat. Harus dituntut serba bisa. Bisa ngajari cerdas cermat, bisa ngajari ngaji, bisa ngajari senam, bisa main dan ngajari voli, bisa ngajari nyanyi. Itu yang aku tidak bisa, pak.” Aku mencoba berargumen sesuai kondisiku sebenarnya yang memang merasa tak punya bakat dan kemampuan di bidang non-akademis, padahal menjadi guru di desa, justru kemampuan itulah yang lebih sering dituntut oleh masyarakat. Di anggapnya guru adalah sosok yang allround, serbabisa, serbatahu.

“Justru itu, nanti kan dipelajari di sekolah. Hanya dengan sekolah di SPG kamu bisa membantu bapak, mengangkat derajat orang tua, sekaligus membantu adik-adikmu. Kalau kamu sekolah di SMA berarti harus melanjutkan kuliah, lha adik-adikmu sekolah dibiayai pakai apa kalau bapak harus membiayai kuliahmu.” Panjang lebar ayah memberiku kuliah subuh pagi itu. Dan aku hanya bisa diam dan membenarkan kata-kata ayah di dalam hati. Tak berani, tepatnya tak mau ku mengatakan. Aku terlanjur kukuh dengan keinginanku sekolah di SMA, bukan di SPG!

Berkas-berkas pendaftaran sudah kupersiapkan. Danem asli dan fotocopynya , fotocopy ijazah, foto copy surat kelahiran dan pas foto, semua rangkap dua. Sehari itu dengan naik microbus aku mendaftar sekolah di dua kota berbeda. SMA di Purbalingga dan SPG di Banjarnegara.

Setelah pendaftaran, di SMA tidak ada kegiatan, hanya menunggu saat pengumuman, karena pertimbangan penerimaan hanya menggunakan Danem. Sedangkan di SPG setelah pendaftaran, ada seleksi wawancara dan tes fisik seperti tinggi dan berat badan, bentuk kaki (X atau O) dan tes buta warna. Jadi bukan semata Danem sebagai pertimbangan penerimaan.

Selepas pengumuman, kembali aku dilanda kegalauan, karena sama-sama diterima. Ikut kemauan ayah, berarti aku belajar sesuatu yang tidak kusukai. Ikut kemauan sendiri berarti aku membantah orang tua dan bersiap membiayai sendiri sekolahku karena ayah --saking jengkelnya-- pernah mengatakan tidak akan membiayai sekolahku kalau nekat melanjutkan sekolah di SMA. Istikharoh adalah solusi yang kuanggap terbaik. Aku mencoba berpikir jernih. Seandainya aku bersikukuh dengan kemauanku maka selain dianggap durhaka, egois, aku juga akan kesulitan sendiri tanpa restu orang tua. Mau bayar sekolah pakai apa kalau benar ayah tidak mau membiayai?

Akupun akhirnya berdamai dengan pikiran dan kemauanku. Bagaimanapun ridlo Illahi tergantung dari ridlo orang tua, begitu pak kyai Saudi, kyai dari kampung tetangga desa pernah berceramah di pengajian Rajaban. Apa salahnya aku menyenangkan hati orang tua? Dengan menuruti kemauannya dan tak memupus harapannya? Kutelaah kembali kat-kata pak Lurah Cipto, bahwa guru adalah pekerjaan yang mulia, yang tak semua orang bisa mendapatkannya. Bukan hanya “digugu dan ditiru”, tapi juga dimuliakan, di”priyayikan” oleh sebagian masyarakat desa. Pekerjaan yang jika ditekuni siapa tahu juga nanti akan diangkat (menjadi PNS) dan bergaji tak kalah dengan penghasilan orang kantoran?

Pergulatan batinku akhirnya menemui titik kesadaran, aku mendaftar ulang di SPG dan bersiap belajar di sekolah yang mencetak calon guru Sekolah Dasar. Meski awalnya tak suka, kumencoba untuk membanggakan diri berada di dalamnya.

Kini, tiga puluh tahun setelah peristiwa itu aku benar-benar berbangga diri menjadi seorang guru. Terima kasih ya Alloh. Terima kasih, ayah. Terima kasih, pak Lurah. Karena kalianlah, jalan hidupku membentang dan lempang kulalui dengan segenap kesadaran.

***

Cilacap,Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline