PISA (The Program for International Student Assessment) merupakan program yang diprakarsai oleh negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Perubahan kurikulum di Indonesia sebagian besar sejalan dengan PISA. Salah satu penyebabnya adalah tekanan masyarakat dari media massa terhadap peringkat PISA yang dianggap mewakili kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Kesimpulan dari artikel ini adalah perubahan kurikulum di Indonesia merupakan pengaruh dari program PISA.
PISA pertama kali diterapkan pada tahun 2000 untuk membantu negara-negara mempersiapkan tenaga kerja mereka dengan keterampilan yang diharapkan di pasar internasional. Mata pelajaran tes PISA terdiri dari tes kemampuan literasi dasar dalam bidang membaca, matematika, dan sains, apapun kurikulum nasionalnya. Subyek dipilih secara acak dan diujikan hanya pada siswa berusia 15 tahun. Secara global, tujuan tematik dan obyektif tersebut dinilai memiliki legitimasi yang kuat dalam menjelaskan kualitas pendidikan suatu negara.
Hal ini terlihat dari reaksi media massa terhadap hasil resmi PISA masing-masing negara peserta (Breakspear, 2014). Indonesia telah berpartisipasi dalam PISA sejak tahun 2000. Saat itu, Indonesia secara sukarela memperkenalkan PISA untuk terus menilai kinerja siswa guna mencerminkan kebijakan pendidikan di era globalisasi. Hasil investigasi PISA di Indonesia dan negara lain tidak terlepas dari pemberitaan media.
Pemerintah Indonesia dinilai gagal menerapkan sistem pendidikan nasional dan terus mendapat tekanan dari masyarakat. Misalnya, pada hasil PISA tahun 2000, Indonesia hanya menempati peringkat ke-39 dari 41 negara (oecd.org, 2003). Hampir seluruh media lokal memberitakan pencapaian ini. Lima belas tahun telah berlalu sejak Indonesia mengikuti PISA, namun kejadian yang sama masih terus terulang.
Kinerja Indonesia masih berada pada level rendah dibandingkan negara peserta lainnya. Hal ini terlihat dari keberhasilan Indonesia pada tahun 2015 yang hanya menempati peringkat 64 dari 69 negara peserta (oecd.org, 2016). Oleh karena itu, Indonesia percaya bahwa meningkatkan kualitas pendidikan setara dengan meningkatkan nilai PISA, dan menyadari perlunya perubahan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini. Dengan demikian, Indonesia akan mendapatkan manfaat dari peningkatan kualitas sumber daya manusia di tingkat nasional dan memperoleh citra positif di dunia internasional.
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan generasi siap pasar adalah dengan mengubah kurikulum. Tujuannya agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya, terbukti dari studi PISA. Program ini pertama kali dilaksanakan pada tahun 2000 dengan fokus pada membaca, dan kemudian pada tahun 2003 dengan fokus pada matematika. Pada tahun 2006, saya bergantian fokus pada sesuatu seperti sains dan mempelajari dua mata pelajaran lain yang bukan fokus saya sebagai mata pelajaran pendamping (Froese-Germain, 2010).
Studi PISA ini bertujuan untuk menilai kualitas pendidikan generasi muda usia sekolah untuk memenuhi tantangan sumber daya manusia abad ke-21. Pemilihan anak usia 15 tahun menjadi pertimbangan wajib belajar di banyak negara. Melalui penilaian, diharapkan pada akhir wajib sekolah, siswa telah memperoleh keterampilan dan pengetahuan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern (OECD, 2017). Dalam program ini, generasi muda memperdalam keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang yang diajarkan di sekolah dan belajar bagaimana mempraktikkan pelajaran di sekolah.
PISA adalah program berkelanjutan yang memberikan wawasan mengenai kebijakan dan praktik pendidikan. PISA juga membantu memantau tren perolehan pengetahuan dan keterampilan siswa di berbagai negara dan subkelompok demografis yang berbeda di setiap negara. PISA memberikan gambaran hasil siswa dalam sistem pendidikan saat ini. Oleh karena itu, data analisis PISA dapat dijadikan acuan dalam mengevaluasi sistem pendidikan untuk meningkatkan tujuan pembangunan manusia.
Untuk mendapatkan pemahaman filosofis yang lebih mendalam tentang PISA, sangat penting untuk memahami berbagai teori yang terkait dengan munculnya program PISA di dunia internasional. Keberadaan PISA merupakan bagian dari fenomena globalisasi. Teori globalisasi yang dikemukakan oleh Robert Reich dan dikutip oleh Anwar (2009) menyatakan bahwa akibat globalisasi, negara semakin bergantung pada warga negaranya yang memiliki keterampilan dan pengetahuan di pasar dunia dan bersaing di kancah internasional atas nama kebangsaan. Sekarang terlihat seperti ini analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara.
Pertama, mari kita bandingkan berbagai perubahan kebijakan pendidikan di negara-negara peserta PISA dengan apa yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya, kami membandingkan perbedaan kebijakan kurikulum di Indonesia sebelum dan sesudah bergabung dengan negara-negara PISA. Daripada secara eksplisit menguji pengetahuan siswa mengenai kurikulum nasional, PISA hanya menguji angka-angka yang disepakati secara internasional. Setiap laporan PISA selalu memuat agenda politik untuk mempengaruhi kebijakan pendidikan yang sejalan dengan norma dan nilai yang ditetapkan oleh OECD, khususnya terkait dengan penyiapan tenaga kerja global.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Sjoberg (2018) bahwa sistem pemeringkatan OECD merupakan upaya kebijakan yang diprakarsai oleh negara-negara anggota mengenai harapan mereka terhadap kualitas pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka di masa depan. Sjoberg menekankan bahwa perbandingan saja tidak cukup dan perlu dilengkapi dengan informasi lebih lanjut mengenai persyaratan suatu sistem pendidikan agar dianggap baik (Sjoberg, 2018). PISA memaksa semua negara untuk selalu berpartisipasi dalam pemeringkatan yang ditentukan oleh PISA. Persaingan ini berarti negara-negara diharapkan sangat aktif dalam upayanya menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas guna mengembangkan sumber daya manusia yang berdaya saing dan sesuai dengan kebutuhan pasar global.