Ia terduduk kikuk di ruang tamu. Disampingnya sang suami tenang mendampingi. Sedangkan di hadapannya dua orang yang harus ia sebut paman dan bibi duduk sama kikuknya dengannya.
"Nenek sudah 40 hari lalu meninggal.." Suara pamannya memulai percakapan.
"Maaf ga ada yang kabarin" Bibi menambahkan.
Mereka adalah kedua orang adik dari orang yang harus ia sebut, Ayah.
"Ayah jadi ga kesini?"
Ia berusaha mempersingkat urusan. Karena memang sesuai janjinya, ia hanya ingin bertemu ayah dan neneknya. Meski, keduanya tak pernah menganggap ia ada.
"Ga, tadi udah video call aja. Katanya lagi lock down"
Ia menatap suaminya, memberi kode untuk segera mengajaknya pulang.
"Ibu kamu masih suka bikin kue papais?" Sang paman berusaha menahannya.
"Masih, kadang"
"Dulu, ibu sering bawakan kue kesini. Dan Ayah kalau sedang disini, pasti langsung ingin pulang ke tempatmu".
Nada, gaya, dan mimik orang itu berbicara sempurna membuat perempuan muda itu ingin membuka pintu kemana saja milik Doraemon atau memakai jubah ajaib milik Harry Potter. Ia tak ingin mendengar apapun tentang masa lalu yang terjadi antara keluarga itu dengan ibunya. Ia kesini hanya untuk berdamai dengan masa lalunya. Tidak lebih.
Kalimat yang ia dengar barusan, justru membuat hatinya berderak kembali. Seolah, pulangnya sang Ayah bersama lagi dengannya dan ibunya adalah sebuah kesalahan bagi keluarga ini.
Sekilas, ia memperhatikan gerakan lembut dari sang bibi.
"Sudah lah a, jangan bahas masa lalu. Si Eneng ga tahu apa-apa". Bisik si bibi ke kakaknya.
Omongkosong. Tentu saja perempuan itu tahu. Ia tahu bagaiman rupa puluhan tahun hidup tanpa ayah. Menjadi yatim sebelum sang ayah meninggal dunia. Ia juga ingat bagaimana saat ia pernah ditolak keluarga lain menjadi menantu karena tak jelas kemana rimbanya si ayah berada. Dan tentu saja ia juga tahu bagaimana mereka semua tak peduli dengan hidupnya. Lapar dan kenyangnya, terik dan hujannya, tawa dan tangisnya.
"Nenek sakit, mang?" Affifa, perempuan itu mencoba pembicaraan lain.
"Udah tua aja, ga sakit"
"Mamang mau main ke rumahmu, tapi suka lupa jalannya". Ia menambahkan dengan wajah ceria.
Pantas berpuluh tahun ia tak dijenguk. Ternyata mereka ga tahu cara pakai googlemap. Umpatnya.
"Mang,Bi kami pamit. Maaf ga bisa lama-lama, karena masih ada janji yang lain" Sang suami menyelamatkan suasana. Sebelum suasana Iedul Fitri berubah jadi pertempuran berdarah di hati istrinya.
* * *
"Kamu baik-baik saja, Bin?" Sang suami bertanya setibanya di kendaraan.
"Aku pikir, aku telah sembuh. Aku pikir, aku sudah bisa memaafkan mereka. Aku pikir, aku sudah lupa dengan apa yang mereka lakukan. Tapi ternyata, dadaku masih sesak. Setiap kalimat yang mereka ucapkan justru mengingatkanku pada hari-hari berat puluhan tahun yang lalu"
"Kamu sudah berusaha, Bin... Setidaknya, mereka juga menerima kita dengan baik."
"Ya, CUKUP baik. Tapi apa akan tetap seperti itu kalau kita kesana dengan berjalan kaki?" Affifa mulai kehilangan kendali. Ia ingat, gadis kecil berpanas-panasan di depan sebuah gedung pabrik berjam-jam. Menunggu seseorang yang disebut Ayah keluar untuk menemuinya hanya beberapa menit. Ingatan lain seperti rekaman film butut juga melintas. Saat seorang perempuan membawa seorang anak laki-laki datang ke rumahnya, memperingatkan gadis itu untuk tak mendekati suaminya. Karena si suami sudah punya keluarga baru. Padahal si gadis kecil hanya menuntut apa yang harusnya juga menjadi miliknya.
"Jangan ajak aku kesana lagi. Jangan nasihati aku soal berbakti kepada mereka di saat lebaran. Baktiku aku cukupkan diatas sajadah. Mendoakan mereka. Sampai aku siap bertemu mereka kembali!"
"Iya.." Lelaki itu mengelus lembut punggung sang istri yang sedang tergugu.
Ia tahu, ini berat. Setahun lalu, ia mencoba mengajak istrinya kesini. Tapi Affifa enggan. Di benak istrinya, keluarga ini memiliki andil besar saat ayahnya menikah lagi dan keluarga ini tak memberikan dukungan sedikitpun pada ibunya. Dan yang paling membekas bagi istrinya adalah jarak dari rumah keluarga ayah ke rumahnya tidak lah jauh. Kesimpulan yang berakar di benak istrinya adalah ia bukan cucu yang diharapkan.
Dan ia tahu, Affifa berusaha keras mempersiapkan hari ini. Ia berjanji akan datang di lebaran kali ini. Meski Ia melihat 10 hari terakhir sebelum Iedul Fitri, sang istri sering mimpi buruk. Terbangun dengan wajah sembab dan berurai air mata. Ia tak pernah tahu, seberapa dalam luka itu ada dalam jiwa istrinya, tapi ia sadar, kewajibannya lah untuk membantu sang istri sembuh dari luka masa lalu itu.
* * *