"Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim). Hadits tersebut disampaikan sebagai pembuka oleh pemateri kultum sholat tarawih semalam, tepat ketika jam menunjukkan pukul 19.41 WIB. Suasana masjid Izzatul Islam, cukup ramai malam tadi (03/04/2023), dengan jamaah yang tetap banyak serta parkiran motor dan mobil yang masih tetap penuh.
Tema yang dibawakan oleh pemateri kultum adalah tentang anak sebagai aset yang akan menolong orang tuanya kelak di akhirat. Jadi anak seperti investasi di masa depan. Secara umum pemateri berpesan bahwa mengingat aset tersebut berharga, maka didiklah anak-anak kita dengan baik, dan jangan mensia-siakan waktu yang ada. Sehingga saat meninggal nanti pahala akan tetap mengalir pada kita mengingat ada anak yang akan mendoakan.
Sekilas pesan yang disampaikan oleh pemateri adalah tentang kebaikan yaitu untuk mendidik anak sehingga menjadi orang yang soleh. Pun demikian rasanya ada yang kurang tepat dengan pilihan kata anak sebagi aset dan tujuan global kenapa harus mendidik anak sehingga pahala kita tidak terputus.
Apa yang ada di pikiran kita kalau mendengar kata "aset"? Saya sendiri langsung berasosiasi tanah, rumah, kebun villa, mobil, emas dan benda lainnya ketika diminta mendefinisikan aset. Tentu saja normal bagi orang awam mendefinisikan aset sebagai barang berwujud. Ketika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aset adalah kata benda dan memiliki pengertian 1). sesuatu yang mempunyai nilai tukar; 2. modal; kekayaan.
Secara terminologi menyamakan anak dengan aset tidaklah tepat. Anak merupakan makhluk, ada ruh, nyawa, punya keinginan dan pemikiran, punya hati dan ada rasa. Jauh berbeda dengan aset dalam pengertian seperti tertera di KBBI. Menyamakan anak dengan aset justru menghilangkan unsur kemanusiaan sebagai anugerah tertinggi sang Rabb pada makhluknya.
Apakah sama orang memperlakukan seorang manusia dengan tanah, mobil, dan harta lainnya? Tentu beda. Memperlakukan manusia dengan benda mati sudah pasti berbeda. Tanah, mobil, rumah bisa kita jual apabila kita butuh uang, namun apakah anak bisa kita jual?
Anak adalah titipan Allah pada kita para orang tua beserta kewajiban yang menyertainya. Kewajiban kita mendidik anak sehingga menjadi anak yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Cukuplah kita mengenalkan apa itu tauhid, iman, aqidah dan aturan-aturan syariat beserta ibadah-ibadah lainnya. Janganlah kemudian kita menjalankan kewajiban ini dengan pamrih selain menginginkan keridhaan Allah.
Menjadi kurang bermakna dan terasa transaksionalnya ketika mengatakan anak adalah investasi yang akan mengalirkan pahala pada orang tuanya ketika sudah meninggal lewat doa-doa si anak soleh. Seakan-akan tatkala berharap akan doa anak soleh saat sudah meninggal, kita akan beranggapan memang benar anak adalah investasi akhirat. Anak yang soleh akan menjadi penolong orang tuanya lewat doa-doanya, namun bukan berarti kewajiban mendidik anak harus selalu dibarengi imbalan kelak si anak akan mendoakannya. Cobalah menjadi ikhlas ketika mengerjakan kebaikan, apalagi untuk anak sendiri.
Insya Allah ketika orang tua berhasil mendidik anak menjadi orang baik yang tunduk pada sang Pencipta, tak akan lupa kok si anak pada orang tuanya. Anak yang baik akan mendoakan kedua orang tuanya, saat masih hidup ataupun telah meninggal.
Jadi mendidik anak itu merupakan kewajiban guna semata-mata menjalankan perintah Allah dan menggapai keridhaannya. Tidak perlu beranggapan seorang anak adalah aset dan investasi masa depan (akhirat). Biarkanlah anak itu tetap menjadi "makhluk hidup" yang merupakan titipan Allah untuk kita rawat dan didik sehingga menjadi manusia yang baik. Masa dengan anak kita bertransaksi dan pamrih?