Suasana malam itu terasa sejuk. Hujan telah membahasahi bumi Bekasi semenjak seperempat jam sebelum azan maghrib, hingga lima belas menit sesudahnya. Setelah berbuka di rumah dan hujan telah reda di hari ketujuh Ramadhan, saya bergegas berangkat ke masjid, sekitar 800 meter dari rumah, untuk menunaikan sholat Isya dan tarawih. Ini merupakan tarawih pertama saya di masjid semenjak awal bulan ramadhan di tahun 2024.
Ada sekitar tujuh shaf jamaah pria yang melaksanakan sholat isya dan tarawih malam itu. Kebetulan saya berada di shaft ketiga, tepat di deretan belakang imam. Sesaat setelah menunaikan sholat Isya, pandangan mata saya tertuju pada seorang lelaki tua, berbaju putih dan berkopiah putih juga. Lelaki tua ini duduk di kursi roda, berada di shaf pertama, dua baris di depan saya.
Segera saya kenali lelaki tua itu adalah Pak Haji Abu, mantan ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dari masjid tersebut. Usia beliau sekarang mungkin sudah tujuh puluh tahunan. Sekitar empat tahun lalu beliau mendapat serangan stroke. Akibat stroke tersebut, Haji Abu mengalami kesulitan berjalan dan berbicara hingga hari ini. Beliau menggunakan kursi roda untuk pergi kemana-mana dengan dibantu oleh asistennya, termasuk untuk sholat berjamaah di masjid. Selepas menjalankan sholat tarawih plus witir total sebelas rakaat, saya menghampiri Haji Abu dan berpamitan pulang. Beliau masih tinggal di masjid, meneruskan sholat tarawih dua puluh rakaat bersama jamaah lainnya.
Beberapa kali sebelum sholat tarawih di malam kedelapan ramadhan ini, saya menjumpai Haji Abu datang ke masjid untuk sholat berjamaah, baik sholat Subuh, Isya, maupun Jumat. Beliau selalu menggunakan kursi roda, sholat dengan duduk dan dibantu oleh asistennya. Sebelum kena stroke dan kesulitan berjalan, Haji Abu termasuk orang yang rajin datang sholat jamaah di masjid, lima kali dalam sehari.
Rupanya meskipun sekarang diberikan keterbatasan dan harus menggunakan kursi roda, kondisi tersebut tidak membuat surut seorang Haji Abu. Beliau tetap istiqomah, konsisten untuk menjalankan sholat berjamaah di masjid. Semangat yang luar biasa di tengah keterbatasan dan perlu kita teladani, terutama bagi kita yang lebih muda. Beliau tetap menjalankan sholat tarawih duapuluh rakaat, pendapat yang dianutnya dari dahulu, tidak lantas alih-alih sakit mengkortingnya menjadi sebelas rakaat.
Mengapa meskipun tidak bisa jalan Haji Abu tetap sholat berjamaah di masjid? Saya yakin beliau sangat faham akan keutamaan sholat berjamaah di masjid, apalagi hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu (diriwayatkan) ia berkata: "Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berujar: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)? Laki-laki itu menjawab: Benar. Beliau bersabda: Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)". (HR. Muslim no. 1044).
Karena sudah terbiasa sholat berjamaah di masjid, maka pasti ada sesuatu yang kurang dan merasa bersalah jika tidak bisa menjalankannya. Hal ini yang menyebabkan beliau dapat istiqomah sholat berjamaah di masjid dengan segala keterbatasannya.
Dari kisah haji Abu kita menjadi paham, bahwa kebiasaan dan rutinitas yang biasa kita kerjakan akan menjadi acuan saat kita mengalami keterbatasan dan juga penuaan umur. Kebiasaan yang kita lakukan tanpa sadar juga akan dilanjutkan dan lakukan meskipun dibayangi keterbatasan-keterbatasan baik dari diri kita sendiri maupun lingkungan.
Bisa dibayangkan jika masa muda kita biasa mabuk-mabukan dan berjudi, maka dalam kondisi sakit atau tua maka bisa-bisa tanpa hidayah dari Gusti Allah maka yang akan dicari adalah teman untuk berjudi atau minuman keras. Sebaliknya jika mudanya biasa berbuat baik, insya Allah kebaikaan ini yang akan menyertai kita dalam segala kondisi dan keterbatasan.
Istilah kerennya kita menuai apa yang kita tanam. Kalau yang kita tanam adalah hal buruk, jahat, fitnah dan sejenisnya, maka keburukan pula akan menimpa kita di masa mendatang. Kalau kebaikan seperti mengajarkan ilmu, sedekah, menolong orang, maka suatu saat kita akan mendapat balasan kebaikan juga. Orang menanam gabah akan berbuah padi. Orang membuang pecahan kaca sembarangan, akan berdarah tersayat.