Dalam suatu pertemuan, seorang ketua umum yayasan berkali-kali menekankan bahwa keputusan tentang suatu investasi adalah kolektif kolegial. Keputusan yang akan diambil tidak merupakan prerogative ketua semata, sehingga harus diputuskan secara bersama-sama oleh semua pengurus yayasan. Adapun jika suatu hari timbul permasalahan, kerugian, maka dampak yang terjadi akan menjadi beban pengurus secara tanggung renteng.
Istilah tanggung renteng tentu tidak asing dalam kehidupan sehari-hari, atau bahkan terkadang kita mengucapkannya. Tanggung renteng adalah menanggung secara bersama-sama (tentang biaya yang harus dibayar dan sebagainya). Tanggung renteng berbicara terutama mengenai dampak, akibat dari suatu perbuatan atau keputusan yang diambil dan harus ditanggung oleh beberapa orang terkait dengan hal tersebut.
Karena berbicara mengenai dampak, atau akibat, maka biasanya istilah tanggung renteng diasosiasikan dengan akibat yang tidak mengenakan yang harus ditanggung. Hal ini berbeda ketika kita berbicara mengenai hasil positif seperti kekayaan, kejayaan, kenikmatan dan sejenisnya. Maka istilah yang dipakai bukanlah "tanggung renteng" atas kekayaan, kejayaan dari hasil perbuatan atau putusan yang diambil secara bersama-sama. Lebih tepatnya adalah masing-masing pihak "mendapatkan dan menikmati" kejayaan dan kekayaan atas usaha mereka.
Tanggung renteng ini sebenarnya menggambarkan atas kehidupan manusia sehari hari, yang interaksinya tidak hanya vertikal, namun juga horizontal, tidak sekedar hablumminallah namun juga hablumminannas.
Tanggung renteng menyiratkan agar seorang manusia menghilangkan keegoisannya, karena apapun keputusan, tindakan, perbuatan yang akan dijalankan tidak hanya akan ditanggung oleh dirinya seorang, namun juga oleh orang lain. Orang lain yang harus menanggung dampak jumlahnya bisa satu, puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan.
Sebagai contoh ketika seorang kepala daerah memberikan ijin pada pengembang untuk pembangunan perumahan di daerah perbukitan atau pegunungan yang merupakan daerah resapan air. Semakin lama daerah yang tadinya hamparan tanah penuh dengan pepohonan berubah menjadi hamparan rumah dengan lapisan beton.
Bisa dibayangkan saat hujan turun, air hujan tidak akan terserap ke bumi dan tertahan oleh hamparan pohon. Akibatnya air hujan akan mengalir mulus melalui hamparan beton menuju ke daerah yang lebih rendah. Pada daerah yang lebih rendah, aliran air hujan ini pada akhirnya mengakibatkan banjir yang menenggelamkan rumah-rumah warga.
Warga yang rumahnya tenggelam kemudian berduyun-duyun mengungsi, mengandalkan bantuan dari pemerintah dan warga lainnya yang tak terdampak. Sang Kepala Daerah di samping harus menerima kenyataan rumahnya ikut terendam banjir, juga harus mengurus warganya yang terkena dampak banjir. Akibat pemberian ijin pembangunan perumahan yang dikeluarkan, sang Kepala Daerah harus tanggung renteng bersama warganya menghadapi banjir.
Konsep tanggung renteng juga ada dalam hal hubungan dengan hari akhir. Kalau tidak percaya simak hadits ini baik-baik. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani).
Sebagai contoh dalam satu Rukun Tetangga (RT) ada 50 kepala keluarga, dimana salah satu kepala keluarga (beserta anak istri) dalam kondisi kekurangan, kelaparan, sementara 49 kepala keluarga lain dalam keadaan kelebihan dan tidak kekurangan. Dari kondisi tersebut 49 warga tidak melakukan apapun terhadap kondisi satu keluarga yang kelaparan, maka 49 warga tersebut harus secara tanggung renteng menanggung dosa akan pengabaian kondisi kelaparan tetangganya.
Contoh yang lain tentang tanggung renteng dosa ada dalam hadits berikut: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,