Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan akan melakukan berbagai daya upaya untuk menunjang iklim investasi di Indonesia. Bahkan presiden secara tegas berjanji akan mengejar, dan kalau perlu "menghajar" pihak-pihak yang menghambat investasi.
Tentu ucapan presiden harus dimaknai sebagai sebuah perintah yang sangat tegas terhadap semua jajaran pemerintahan dan aparat di bawahnya agar tidak bermain-main, mengganggu, dan menghambat investasi. Apalagi presiden sudah menyatakan kepada jajaran menteri di kabinet bahwa tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden dan wakil presiden.
Karena tidak ada visi dan misi menteri, maka para menteri harus tegak lurus dalam menjalankan amanat presiden terutama untuk mewujudkan Indonesia yang ramah investasi. Salah satu upaya presiden untuk menarik investasi adalah dengan memperbaiki aturan-aturan hukum yang saat ini berlaku. Perbaikan ini salah satunya dengan menggunakan omnibus law yang akan mensinkronkan berbagai peraturan perundang-undangan dan memperbaiki peraturan-peraturan yang menghambat investasi.
Berkebalikan dengan instruksi presiden, ternyata ada kementerian yang justru seperti tidak menjalankan pesan agar ramah dan tidak membuat kabur investor. Kementerian tersebut adalah ESDM, lho kok bisa? Silahkan lihat harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) satu bulan terakhir. PGAS terlihat tertekan dari titik tertingginya di angka Rp. 2.120,- hingga angka terendahnya Rp. 1.445,-. Kalau ditarik lebih jauh lagi setahun terakhir harga PGAS rata-rata adalah Rp. 2.091,- sementara sekarang (hari ini) diperdagangkan di kisaran Rp. 1.550,-.
Amblesnya harga saham PGAS seiring dengan gencarnya pemberitaan harga gas industri 6 USD per MMBTU mulai berlaku pada 1 April 2020 yang mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Apalagi skema bagaimana memperoleh harga gas 6 $ belum jelas dan ditetapkan. Presiden pernah menyampaikan opsi mengurangi atau bahkan menghilangkan jatah pemerintah US$ 2,2 per MMBTUdari hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).
Kepastian Skema Penurunan Harga
Tampaknya skema penurunan harga gas menjadi 6 USD per MMBTU membuat kekhawatiran investor yang menanamkan duitnya di saham PGAS. Intervensi yang tinggi dari pemerintah terhadap perusahaan terbuka ini dikhawatirkan akan mempengaruhi pendapatan PT Perusahaan Gas Negara Tbk sehingga menghambat kemampuannya untuk tumbuh berkembang dan berinvestasi ke depannya.
Apalagi ada rumor yang beredar jika kementerian ESDM mengusulkan bahwa harga gas industri 6 USD per MMBTU diperoleh dengan penurunan harga hulu menjadi 4,5 USD dan PGN hanya diberikan 1,5 USD untuk biaya transportasi, biaya distribusi, termasuk di dalamnya margin niaga. Tentu ini menghawatirkan bagi investor karena dengan skema seperti ini kemampuan keuangan PGN menjadi sangat terbebani. Jangankan untuk berinvestasi dan memperluas usaha, membayar pinjaman saja bagi PGN menjadi berat.
Oleh karenanya pemerintah harus segera menentukan skema yang cukup adil bagi kemaslahatan rakyat banyak. Pemerintah tidak boleh mudah percaya bahwa penurunan bagian negara dalam K3S (penurunan harga hulu) akan dikompensasi oleh daya saing produk yang industri hasilkan dan kenaikan pajak. Jangan-jangan penurunan harga gas hanya akan menguntungkan pemilik industri, tanpa membawa efek domino pada kesejahteraan pekerja dan kenaikan pajak negara.
Konsistensi Regulasi
Perbaikan harga jual gas bumi di sisi hilir yang tidak mengalami penyesuaian lebih dari 7 tahun juga memberikan dampak pada kemampuan pendanaan PGN dalam membangun infrastruktur gas bumi. Apabila penyesuaian harga jual gas bumi tidak dilakukan, maka konsekuensinya adalah kemampuan pendanaan mandiri PGN akan terganggu sehingga target-target pembangunan infrastruktur akan terhambat. Sementara harga hulu gas bumi dari tahun ke tahun meningkat, harga gas bumi di hilir tidak juga mendapat persetujuan dari kementerian ESDM untuk disesuaikan.