Seringkali kita temukan dan terkadang berinteraksi dengan atasan yang tidak seperti harapan. Kalau harapan sebagai anak buah tentu mempunyai atasan yang baik, mengayomi, paham masalah dan banyak kesempurnaan lainnya yang begitu diimpikan. Mempunyai atasan dengan perilaku jauh dari harapan tentu membuat beberapa orang merasa tidak nyaman dan menjadikannya masalah tersendiri.
Tak terkecuali ada seorang kawan yang mengeluhkan perilaku bosnya. Menurut kawan tersebut bosnya tidak punya arah dalam bisnis, kerjanya hanya jalan-jalan baik di dalam maupun luar negeri. Padahal menurutnya sebagai salah satu nahkoda perusahaan, atasannya tersebut bisa berbuat lebih sebagaimana harapan para anak buahnya. Kawan saya berujar "Percuma sholat lima waktu plus sholat dhuha kalau masih mengejar dunia dan menuruti ambisi belaka".
Pada titik tersebut saya perlu meluruskan bahwa tidak ada yang percuma dengan sholat dan ibadah seseorang. Lazimnya khalayak umum senantiasa menganggap bahwa seseorang yang ahli ibadah akan mempunyai perangai atau perilaku yang berbanding lurus dengan tingkat ibadahnya.
Namun tidak selalu kondisi yang berbanding lurus itu terjadi, sehingga janganlah lantas menihilkan ketekunan ibadah seseorang ketika kemudian perilakunya tidak mencerminkan ketekunan ibadahnya seperti kasus atasan teman saya di atas. Justru kalau atasan tersebut tidak rajin sholat atau ibadah, jangan-jangan kelakuannya lebih parah dari yang dikeluhkan teman saya.
Tidak sekali ini saya mendengar ungkapan penihilan atas ibadah seseorang akibat perilaku atau perangainya. Seringkali saya mendengar ucapan, "Mendingan kayak aku, gak jilbaban tapi perilakunya bener. Jangan kayak dia kelihatannya alim, jilbaban namun perilakunya kayak setan, gak karuan."
Ungkapan seperti itu dan sejenisnya seringkali kita dengar dan seolah-olah membenturkan antara simbol kesalehan seseorang dengan perilakunya. Cobalah berpikir positif seandainya orang tersebut tidak mengerjakan ibadah, kewajiban agama kemungkinan perilaku atau perangai negatif yang muncul akan menjadi lebih besar.
Dalam hidup ini trilogi iman, ilmu, dan amal adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Sudah pasti iman menjadi landasan bagi manusia sebelum ilmu dan amal. Iman akan menuntut manusianya untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun pengetahuan umum. Kewajiban menunaikan sholat diketahui seorang muslim karena mereka belajar ilmu agama, syariat, sehingga menjadi tahu kewajiban, larangan, mana yang boleh dan mana yang tidak serta bagaimana seorang muslim harus menjalani hidup dalam masyarakat.
Ketika seorang terlihat menjalankan syariat agamanya seperti sholat, berhijab maupun aktivitas lainnya, maka banyak orang melihatnya merupakan simbol kesalehan seseorang. Padahal kesalehan tidak hanya diukur dari ritual ibadah yang sehari-hari dijalankan atau pakaian yang tiap hari dikenakan. Kesalehan seseorang terlihat dari cara dia mengamalkan ilmunya dengan dilandasi keimanan pada Tuhannya.
Jadi tidak bisa dikatakan seorang saleh hanya dari ketaatan menjalankan ibadah seperti sholat sementara di saat bersamaan muamalah dengan masyarakat sekitar, rekan kerjanya sangat buruk. Atau juga seseorang yang yang hubungan dengan sesamanya sangat baik, pekerjaan dilakukan dengan tanggung jawab penuh, tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi jabatan, namun di saat yang sama dia tidak menjalankan kewajibannya untuk beribadah maka dia tidak dapat dikatakan sebagai orang saleh.
Jadi ada seorang yang kuat di ilmu namun amalnya jeblok, atau amalnya bagus namun ilmunya sedikit atau kondisi lainnya maka hal itu adalah keadaan yang manusiawi. Sehingga ketika ada seorang yang terlihat alim namun perilakunya tidak mendukung maka tidak perlu kita menihilkan aktivitas ibadahnya yang sudah berjalan dan merasa diri kita lebih baik.
Sebaiknya kita doakan agar seseorang tersebut bisa mengamalkan ilmunya secara menyeluruh sehingga antara ilmu amal bisa selaras dan sejalan dengan landasan iman yang kokoh. Doa yang sama juga kita panjatkan untuk hidup kita sendiri.