Sejenak saya pandangi angka yang tertera di timbangan berat badan digital pagi itu, berharap ada perubahan namun ternyata angka tersebut tidak berubah tetap 80,9 kg. Ah ada yang salah pikir saya, masa berat badan saya sebanyak itu. Segera saya beranjak ke depan cermin dan mencoba meyakinkan diri bahwa tubuh saya masih belum termasuk kategori gemuk.
Lama saya amati memang sepertinya cermin tidak berbohong, kejayaan masa lalu saat tubuh masih kurus seperti tidak bersisa ditenggelamkan tumpukan daging.
Olahraga rutin jalan pagi selama seminggu ternyata belum mampu menurunkan berat badan saya sehingga sampai mempertanyakan angka dalam timbangan yang tidak sesuai harapan.
Barangkali ini tidak hanya dialami oleh saya namun juga banyak orang lainnya. Apalagi bagi kaum wanita, isu berat badan pasti lebih sensitif lagi. Mulai dari telah menjaga pola makan, diet, puasa namun ternyata berat badan tetap konstan tidak turun, akan membuat kaum wanita lebih stress lagi. Padahal memang usaha yang dilakukan belum optimal dan tidak konsisten.
Seringkali kita tidak adil terhadap diri sendiri seperti kejadian di atas, lho kok bisa? Bagimana bisa saya mengharapkan tubuh saya kurus di saat yang bersamaan pola makan tidak dijaga, tidak diet, olahraga juga baru sebentar dan tidak berkesinambungan. Ya itu namanya saya tidak adil terhadap diri sendiri, mengharapkan sesuatu secara instan tidak mau melalui proses yang seharusnya.
Saat saya tidak bisa adil terhadap diri sendiri lantas bagaimana orang bisa mengharapkan keadilan dari saya? Itulah beratnya bagaimana konsepsi keadilan diimplementasikan dalam kehidupan. Puluhan ayat dalam kitab suci memerintah agar manusia berlaku adil, sehingga bisa dikatakan bahwa adil adalah pilar dalam kehidupan kita sehari-hari.
Suatu ketika saat masih menjadi pengurus organisasi, saya merasakan bahwa ada yang salah dengan upah yang saya terima dari perusahaan dimana upah tersebut dibawah dari batas terendah dari range upah untuk posisi saya.
Ini tentu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun saat itu saya hanya menanyakan pada beberapa pihak terkait tentang yang saya alami dan tidak bertindak apapun atas "ketidakadilan" pada diri saya karena lebih pada perasaan saya yang tidak enakan apalagi nanti terkesan memanfaatkan posisi untuk diri sendiri. Namun lambat laun ternyata saya sadari bahwa bukan saya saja yang mengalami hal tersebut, banyak pekerja lainnya yang ternyata bernasib serupa.
Perjalanan waktu kemudian menyadarkan saya ketika ada seorang tokoh mengatakan bahwa bagaimana mungkin kita bisa memperjuangkan orang lain kalau memperjuangkan diri sendiri saja tidak bisa.
Berangkat dari situlah kemudian kesadaran saya terbangun dan meninggalkan rasa keengganan untuk kemudian memperjuangkan apa yang seharusnya saya terima. Perjuangan ini juga kemudian dilakukan bersama teman-teman organisasi untuk menempatan keadilan sebagaimana mestinya yang kemudian ternyata mencapai titik temu dengan perusahaan.
Memang menjadi adil itu terkadang terasa berat dan sering tidak mulus jalan untuk mendapatkannya. Namun harus kita sadari bahwa hukum yang diselenggarakan negara pun ujung-ujungnya adalah menciptakan rasa keadilan bagi segenap rakyatnya sehingga tatanan sosial terpelihara dengan damai lagi tenang.