Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Rasyid Ridha

Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Kejujuran dalam Kelangkaan

Diperbarui: 24 Desember 2017   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namanya Andri Rizki Putra, begitu saya mengenalnya ketika menonton acara di sebuah acara TV swasta pada suatu pagi di akhir Desember 2017. Jalan hidup Rizki yang menarik dimulai ketika di tahun 2006 saat kelas 3 SMP dia kecewa dengan kecurangan yang dilihatnya pada saat menjalani ujian nasional. Guru-guru membiarkan murid-murid mencontek, bahkan guru-guru memberikan kunci jawaban pada anak didiknya. 

Hati nuraninya bergejolak, sekolah yang setiap saat  mengajarkan kejujuran justru dalam prakteknya memfasilitasi terjadinya ketidakjujuran dalam ujian nasional. Usahanya melaporkan kepada kepala sekolah justru dihalang-halangi oleh para guru dengan alasan bahwa harus menjaga reputasi sekolah sebagai sekolah unggulan, sehingga Rizki harusnya menyesuaikan dengan teman-temannya dalam praktek percontekan tersebut.

Ketidakpercayaan pada pendidikan formal membuat Rizki setelah lulus SMP hanya menjalani 2 bulan sekolah di SMA. Selanjutnya dia keluar, belajar sendiri dan mengikuti Kejar Paket C, setara SMA. Lulus kejar paket C Rizki masuk ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2011. Rizki juga mendirikan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB), sebuah yayasan berbasis swadaya masyarakat untuk mereka yang putus sekolah dan ingin melanjutkan pendidikannya tanpa batas usia, dan pekerjaan secara gratis untuk siapa pun.

Sungguh hari ini kita belajar dari seorang Andri Rizki Putra tentang arti pentingnya memperjuangkan kejujuran. Meskipun tinggal dia seorang yang masih memegang prinsip itu, dia tidak mundur menentang komunitas sekolahnya meski harus dibayar mahal dengan pengucilan dirinya. Sekolah yang seharusnya menjadi penanam benih-benih kejujuran dan benteng abadi penjaga kejujuran malah bersikap sebaliknya. Sepanjang pengetahuan saya cerita-cerita seperti ini juga sering saya dengar dari para pelaku di dunia pendidikan, namun sangat sulit membuktikannya karena minimnya orang yang mau bersaksi.

Kadang-kadang itulah yang terjadi ketika sekolah menjadi suatu bisnis, tidak sekedar sarana pendidikan dan pengajaran. Ketika lebih bisnis oriented maka sebuah sekolah akan melakukan berbagai upaya agar saat ujian nasional nilai-nilai para muridnya selalu tinggi dan di atas rata-rata sekolah lainnya, serta rasio kelulusannya 100% dimana kadang kejujuran menjadi pertaruhannya. 

Bagi sekolah ketika nilai ujian nasional murid-muridnya di atas rata-rata dan tingkat kelulusannya 100% maka itu menjadi modal utama untuk memperoleh predikat sebagai sekolah unggulan yang mana secara otomatis dapat menarik siswa lebih banyak ketika tahun ajaran baru, dan para orang tua tidak merasa mengeluarkan biaya mahal untuk mensekolahkan anaknya disitu. Hal inilah yang membuat banyak sekolah merasa tetap perlu menjaga parameter tersebut dengan berbagai cara di tengah ketatnya persaingan bisnis pendidikan.

Lawan dari kejujuran adalah ketidakjujuran atau biasa kita sebut kebohongan. Kebohongan akan selalu diikuti dengan kebohongan selanjutnya agar kebohongan sebelumnya tertutupi. Dalam wawancara kerja saya pernah mencoba menerapkan dari berkata jujur, separo jujur separo bohong, dan seluruhnya bohong. 

Apa yang terjadi, ketika dalam wawancara saya menerapkan metode menjawab dengan menyembunyikan yang sesungguhnya saya kerjakan dan alami alias saya menjawab dengan tidak jujur, maka hanya sampai 2-3 pertanyaan saja saya masih bisa menjawab setelah otak berpikir keras merangkai serangkaian "cerita bohong agar bisa menjawab seperti yang saya inginkan. Namun pertanyaan berikutnya saya sudah angkat tangan, kesulitan menjawab karena sudah tidak bisa merangkai cerita kebohongan lebih lanjut, seperti bukan menjadi diri sendiri.

Sebaliknya ketika dalam interview kerja saya menjalani dengan sepenuhnya jujur, jiwa saya merasa merdeka dan dengan mudah dapat menjawab pertanyaan para interviewer. Saat itulah saya merasa menjadi diri sendiri, bebas menjawab sesuai nurani, tidak ada beban. Data empiris menunjukkan bahwa saya selalu diterima kerja ketika saat wawancara menjawab dengan jujur, apa adanya, sementara ketika menerapkan metode kebohongan saat diinterview maka saya tidak pernah keterima.

Dalam hidup memang kadang menerapkan kejujuran dalam lingkungan yang penuh kepalsuan dan ketidakjujuran adalah perkara yang tidak mudah. Tapi itulah pilihan hidup, kejujuran adalah emas, ketika kita memilih menjadi emas maka dimana pun juga akan mengkilap dan berharga mahal sekalipun berada di comberan atau got. Lebih mudah bagi saya menerima bahwa nantinya anak saya tidak naik kelas daripada naik kelas dengan nilai bagus tapi hasil mencontek. Karena bagi saya pendidikan bukan sekedar angka-angka dan prestasi akademik saja, namun kejujuran dalam prosesnya adalah keharusan.

Betul kata Bung Hatta perihal kejujuran "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki." Itulah mengapa pendidikan yang tinggi tidak menjamin kejujuran seseorang. Cobalah tengok, hampir mayoritas tahanan korupsi di KPK adalah lulusan pendidikan tinggi dan masih saja mereka berbuat tidak jujur dengan mengkorupsi uang negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline