Lihat ke Halaman Asli

Janjimu.... Kau Dustai dan Kini Menebar Janji-janji Baru....

Diperbarui: 12 April 2018   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi masih lengang belum terdengar bisingnya kendaraan. Udara sejuk segar setelah tadi malam turun hujan. Ia nongkrong di warung kopi di pinggir jalan. Ia duduk sambil nyeruput kopi panas legi dan kental (nasgitel). Diambilnya satu pisang goreng masih hangat dan renyah. Ia mulai ngobrol dengan penjual warung itu.
“Mas, aku yakin sampean milih banteng.”
Lho kok tahu?”
“Ya tahu dong... itu ada gambar bertanduk lagi nyeruduk!”
“Ya Mas. Ia berjanji berkali-kali, tapi janjinya hanya sebagian kecil yang ditepati. Dulu janji lima tahun, baru setengah jalan sudah berhenti. Lalu ia pindah ke Jakarta, sama saja. Kalau sekarang mungkin bisa diselesaikan lima tahun, hanya janji-janji sulit ditepati...”
“Betul Mas baru terpilih sudah berani menaikan BBM, lalu turun naik...  Yang lain menyusul dinaikkan!!“
“Masih banyak janji-janjinya, segudang mungkin...”
“Memang Mas mencatat jumlah janji-janjinya ketika kampanye dulu? Kok tahu segudang...?”
“Kan aku bilang, mungkin...”
“O iyaa.. betul juga sampean, mungkin”
“Yang jelas Mas, jika aku belanja di pasar harga-harga naik. Ongkos transport naik. Jadi, sekarang aku harus persiapkan tambahan dana belanja. Dulu dan sekarang sama saja Mas, yang hidup enak ya.. para pejabat.”
“Yang enak pejabat mana? Memang sampean tahu?”
“Itu pejabat yang kelihatan di tv. Mereka saling menyerang. Saling menuding. Pakai stelan jas. Pakai mobil mewah. Dapat fasilitas. Lha kita?!”
“Jangan iri Mas. Atau dengki. Mereka kan sudah mikir. Mereka memikirkan rakyat Mas. Wajar kan jika dapat fasilitas negara? Lha kita apa?”
“Kita ya... rakyat. Warga negara. Berhak mendaoat keadilan dan kesejahteraaan.... Itu tertera di Pancasila! Masak tidak boleh protes?!”
“Kata bapak-bapak itu, kita ini negara demokrasi, boleh protes, tapi tidak boleh anarkis atau dengan kata-kata kasar sarkastis. Protes boleh, tapi harus menggunakan bahasa yang baik dan benar, halus lembut dan tidak menyinggung perasaan orang...Mas. Jika menyinggung nama baik orang, apalagi pejabat, bisa kena pasal 'pencemaran nama baik'!”
“Maksudnya?”
“Mbuh Mas! Aku nggak ngerti. Aku ra mikir. Yang penting hidup mengalir seperti air...”
“Ya Iyaa Mas. Kalau seperti roda, namanya menggelinding hehehe.......”
“O... hari sudah siang. Tak terasa Mas. Berapa semuanya?
“Lima ribu saja Mas.”
“Terima kasih”

Warga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline