Lihat ke Halaman Asli

Muhammad RifqiFawzi

Sura jaya ningrat lebur denging pangestuti

Kebenaran dalam Filsafat

Diperbarui: 14 Juni 2021   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Intervention of the Sabine Women, jacques louis david, 385 cm 522 cm (152 in 206 in), louvre 1799 (wikipedia.org)

Berbicara masalah kebenaran secara filsafat bukan hal yang tabu atau mewah justru ini yang menjadi dasar bagaimana suatu manusia dapat beretika dan bermoral, saya jadi ingat beberapa peristiwa belakangan ini saya selama 2 tahun mencari kebenaran tentang apa yang menurut saya yakini benar ternyata salah untuk orang lain. Namun itu semua tidak sia sia banyak hal yang menjadikan saya paham akan kebenaran, walau saya menemukan satu kebenaran disitu saya malah menemukan 1000 pertentangan.

Kebenaran adalah suatu kata yang berasal dari satu kata yaitu benar. Apa yang dimaksud dengan benar? Benar adalah suatu penyesuaian antara pikiran dan kenyataan, ketika apa yang ada didalam pikiran kita dan kemudian itu menjadi kenyataan pada "umumnya" maka itu bisa disebut benar.

Baca juga: Jalan Panjang Mencari Kebenaran Ilmu

Namun, posisi kebenaran menjadi hal yang ditentang dalam filsafat, dengan kata lain filsafat justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan perihal klaim tentang kebenaran atau mempertanyakan kebenaran. Mengapa demikian? Karena kebenaran bersifat tidak akan pernah "final" dengan kata lain suatu kebenaran pasti bersifat dinamis, tidak akan pernah berhenti, tidak pernah akan pernah sampai pada titik selesai.

Kebenaran sendiri dibagi menjadi 2 jenis yaitu kebenaran mutlak dan relative, suatu kebenaran dapat dikatakan mutlak apabila klaim kebenaran tersebut diakui oleh orang banyak bahkan dunia sebagai contoh 1 + 1 = 2, seluruh dunia mengakui ketika saya punya satu kue kemudian adik saya memberikan saya satu kue maka saya mempunyai dua kue dan dapat dikatakan relative jika kebenaran tersebut mempunyai banyak kontradiksi atau pertentangan.

Namun, lagi lagi hubungan antara mutlak dan relative bersifat paradoksal. Kebenaran tidak mungkin melulu mutlak dan tidak mungkin melulu relative. Karena kebenaran juga tidak lepas dari "on the edge of contradiction" selain itu kebenaran juga dipengaruhi oleh waktu, zaman, sudut pandang & kejadian. Maka dari itu kebenaran bersifat dinamis dan tak bisa lepas dari kontradiksi yang membuat kebenaran itu semakin paradoks.

Baca juga: Ngaji Filsafat | Apa Puncak Kebaikan dan Kebenaran?

Manusia cenderung memilih menghapus sifat paradoksal tersebut dengan kata lain cenderung memilih yang satu dan menolak yang lain dalam kebenaran. Namun sebagai manusia sebenarnya kita mesti sadar bahwa yang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah, yang benar untuk anda belum tentu baik untuk saya dan yang benar untuk saya belum tentu baik untuk anda.

Dasar untuk menentukan kebenaran harus berdasarkan kenyataan yang menyatakan diri kepada lawan dialog sedangkan orang yang berdialog harus meneruskan dialog dengan kenyataan dan keterbukaan karena hanya dengan keterbukaan suatu kelompok dialog dapat bersama sama menuju kebenaran.

Berbicara kebenaran maka selalu berujung pada pengertian, pilihan dan keputusan. Bagaimana cara kita mengerti dan memahami berbagai sudut pandang, bagaimana kita memilih serta mengambil jalan atas apa yang kita dan mereka pikirkan.

Baca juga: Kebenaran Selalu Menunjukkan Jalannya Sendiri

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline