Kalau dipikir-pikir. Layak kita bertanya, untuk apa sih lakon hidup seperti ini kita jalani?.
Ada seorang Bapak yang stress karena anaknya nunggak SPP sekolah.
Ada pemuda muda yang bingung mempersiapkan pernikahannya.
Ada pula caleg yang menghitung-hitung biaya pembuatan kartu nama dan alat peraga. Dahinya mengertit, ternyata mahal.
Ada timses sibuk mensosialisasikan jagoannya sebagai calon paling layak pilih. Segala tindak tanduk jagoannya di matanya tak tercela. Sebaliknya, segala aib mungkin adalah milik lawan tanding semata. Tiba-tiba hanya ada dua kategori di negeri ini, lue pilih jagoan gue, atau calon sono?.
Pliz, jujurkah kita, apakah hati ini nyaman dengan situasi hitam putih dan kebiasaan baru bernama saling menggunjing dan menjatuhkan?.
Apakah kualitas hidup kita tidak semakin rendah setiap paginya membaca berita dan konten yang merendahkan orang lain?.
Sebagai manusia JAMAN NOW, kita memang menghadapi kondisi riskan yaitu DEMATERIALISASI tanpa SPIRITUAL. Apa pula itu?
DEMATERIALISASI adalah proses merubah MATERI menjadi IMMATERI, atau ABSTRAK.
Misal, kita merubah uang menjadi makanan dan setelah makan, kita menjadi KENYANG. Nah, kenyang itu adalah dematerialisasi dari makanan. Kenyang tidak bisa dipegang atau dilihat. Ia hanya bisa dirasakan.
Atau, katakanlah kita merubah UANG menjadi umbul-umbul, kartu nama, spanduk, iklan tv, koran dan majalah, untuk mengajak orang memilih jagoan kita. Kita menjual mereka dengan materi.
Setelah jabatan diraih, kita merasa SENANG, BANGGA dan TERHORMAT. Ada sensasi kemenangan ketika mengalahkan lawan. Ada kehormatan diraih. Itu contoh dematerialiasi.
Uang yang menjadi KEKUASAAN itu menimbulkan RASA. Entah itu rasa positif atau negatif. Bentuknya abstrak. Tak bisa digenggam, hanya bisa dirasa.