Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat kembali mendapatkan penolakan saat berkunjung ke kawasan Kembangan, Jakarta Barat, Rabu (9/11/2016).
Djarot tidak patah arang. Dia langsung mendekati kerumunan yang meneriakkan yel-yel penolakan. "Mana komandannya? ujar Djarot berulang.
Kemudian Djarot mendapati salah seorang paruh baya, sembari berjabat tangan yang lama. Djarot menanyakan apa maksud di balik penolakan itu.
Djarot meminta agar cara-cara itu tidak perlu dilakukan. Kalau memang tidak suka dengan pencalonan mereka, Djarot meminta mereka tidak mencoblos dirinya.
Pria paruh baya itu pun berdalih, penolakan itu bukan karena Pilkada. Tapi, karena dugaan penistaan agama yang menimpa pasangan Djarot, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Djarot menegaskan, dalih pria paruh baya itu mengada-ada. Karena, kasus tersebut sedang berjalan di Bareskrim Mabes Polri.
Cara Djarot menghadapi pedemo atau haters patut diapresiasi. Tanpa menghardik, Djarot mendekati dan menghampiri langsung kerumunan itu.
Djarot tidak menjauh dengan alasan risih atau keamanan. Djarot cerdas dengan langsung mencari dedengkotnya. Bukan anak buah atau tim horenya.
Dengan interogasi yang spontan, rasanya dijamin haters tidak akan bisa menjawab. Apalagi itu adalah haters dadakan, yang sebenarnya disewa atau diperalat pihak-pihak tertentu.
Kalaupun bukan haters dadakan, pendekatan seperti itu juga perlu. Terkadang mereka yang jadi haters itu, karena tidak mendapatkan informasi yang cukup.
Haters jenis ini, pada dasarnya butuh perhatian. Sehingga dengan cara urak-urakan, mereka memperlihatkan ketidaksukaan.