Lihat ke Halaman Asli

Sendiri itu Butuh Nyali

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

M. R. Aulia

Ditulis Rabu Pagi, 29 Januari 2014, dan diselesaikan pukul 09:29 WIB.

Sendiri itu butuh nyali, apalagi(sedang) tidak ada siapa-siapa lagi yang diharapkan kehadirannya setiap kita butuh dan ingin dekat dengannya. Tidak hanya ‘dunia lain’ Trans 7 aja yang butuh nyali. Peran di dunia nyata pun butuh nyali.

Sendiri itu nyata. Lahir dengan seorang diri dari satu rahim. Tidak rame-rame atau sekaligus berbondong-bondong dalam waktu yang sama.

Meski sering dirasa, sendiri itu membunuh. Tapi tidak selamanya seperti itu. Kadang sendiri itu momen atau kebutuhan yang sayang untuk disia-siakan begitu saja.

Sendiri itu bukan aib yang harus dikaitkan dengan hal-hal pesimis lainnya. Sendiri itu langka. Tak selamanya sendiri bisa dirasakan dengan mudah. Rasa sendiri yang benar-benar punya rasa. Rasa yang membuat diri mengerti arti dari terciptanya momen ke-sendiri-an.

Kata orang, pulang dan berpindah ke dunia setelah ini, pun sendiri. Bersembunyi di dalam tanah sembari menunggu hari kebangkitan semua anak manusia pun sendiri. Tak ada yang menemani. Tak ada pula lampu yang menyinari.

Sendiri itu kenyataan. Tidak ada yang bisa melawan kesendirian itu atau memaksakan diri harus selalu bersama. Bersama mereka yang dicinta dan dipuja.

Akan ada waktu yang memisahkan kebersamaan itu. Bahkan Bennet dan Teddy Bear saja pernah berpisah dan jadi sendiri-sendiri, meski mereka pernah berjanji sebagai sahabat sang petir.

Sendiri itu terkadang bagaikan bertepuk sebelah tangan. Asyik sendiri, malah dibilang autis atau tidak normal alias gila.

Tapi dengan sendiri kita bisa berpikir. Berpikir lebih ‘dalam’ untukmerenungkan segala sesuatu yang mungkin tidak bisa didapatkan ketika suasana sedang ramai dan heboh.

Sendiri adalah kesyahduan. Banyak orang ingin pergi mengasingkan diri. Mencari tempat sepi dimana tidak banyak suasana yang membuat konsentrasi hilang tuk bermunajat.

Sendiri yang digunakan agar bisa bercengkerama dengan sang pencipta. Bermunajat penuh atas ketidaklayakan sikap selama ini dan berharap indah pada akhirnya.

Sendiri itu kebutuhan. Ibarat perenang yang kehabisan oksigen, dengan memunculkan kepala ke atas permukaan, lalu masuk lagi dan melanjutkan renang. Sama seperti sendiri. Harus ada meski sejenak.

Kuatkan diri. Mempersiapkan masa-masa sendiri. Sendiri itu pasti akan datang menghampiri siapapun, kapanpun dan dimanapun.

Sementara berdua itu fana. Fana yang sering berulang. Indah sebentar saja, setelah itu panas-dingin, mekar-layu, kemudian pergi, hilang dan lenyap. Begitu seterusnya. Datang dan pergi.

Setitik jeda di antara datang dan pergi itulah sendiri.

Sendiri itu langka. Tidak selamanya bisa bersama. Tak selamanya pula bia sendiri. Tak ada yang abadi.

Meski ucapan lisan dan hati selalu terngiang hebat yang bertekad untuk selalu bersama, tapi sendiri itu pasti menyapa. Entah sendiri di alam yang lama, atau sendiri di alam yang baru.

Jadi tidak salah, sendiri itu butuh nyali. Nikmatilah masa-masa sendiri itu. Berhasil sendiri, (bisa jadi)berhasil pula ketika bersama-sama. Gagal sendiri, (bisa jadi) berlanjut gagal saat bersama.

Dan pada akhirnya. Sendiri ketemu sendiri. Kembali bersama. Entah di waktu dan tempat yang mana. Tak terlihat jelas karena semua adalah rahasia. Rahasia yang disimpan rapi sang pencipta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline