Oleh:
M. R. Aulia
Ditulis Kamis Pagi (13/02/2014) dan diselesaikan pukul 09:40 WIB.
[caption id="attachment_322311" align="aligncenter" width="454" caption="Udar Pristono, eks Kadishub DKI Jakarta, sumber: lensaIndonesia"][/caption]
Salah satu pembantu Jokowi yang sering eksis adalah Udar Pristono. Mantan kepala dinas perhubungan DKI Jakarta. Ia bertugas membantu Jokowi dalam menyelesaikan segala model atau problematika yang berkaitan dengan perhubungan. Terutama dalam menyelesaikan kasus klasik macet yang belum pernah terselesaikan dengan baik. Sepanjang pengetahuan saya, Udar adalah sosok yang tahan banting.
Betapa banyak kasus yang berhubungan dengan tanggung jawab dinasnya, ia tetap santai dan berani tampil ke publik dengan baju kebesarannya yang berwarna biru telur asin untuk mengklarifikasi semua permasalahan tersebut. Tak jarang ia tampil dengan wajah yang teduh tanpa terlihat tertekan. Meskipun pada awal-awal Jokowi menjabat, beberapa kepala dinas dan pejabat eselon, banyak yang mengundurkan diri karena tidak kuat dengan cara dan ritme kerja Jokowi.
Udar sesuai dengan namanya tetap mengudara. Ia terus mencoba dan menyesuaikan dirinya dengan cara kerja Jokowi yang terlihat tanpa ada jeda. Apalagi tanggung jawab yang diembannya selalu berpotensi masalah. Masalah yang dapat dengan seketika dilihat semua orang, tanpa harus klarifikasi panjang. Jalanan yang sangat padat sebagaimana banyak orang bisa refleks mengasosiasikan ibu kota dengan segala hiruk-pikuk jalanannya, yaitu kemacetan akut.
Salah satu cara untuk mengurai kemacetan tersebut adalah dengan memperbanyak angkutan umum yang layak dan nyaman bagi para penggunanya. Di antaranya adalah penambahan jumlah armada trans Jakarta dan bus kota terintegrasi busway (BKTB).
Namun, indikator yang membuat hal tersebut nyaman mendadak pudar karena banyak ditemukan kerusakan-kerusakan pada sejumlah bus kota terintegrasi busway (BKTB) yang diimpor dari China pada akhir tahun 2013 lalu. Mulai dari bodi bus yang karatan, proses kelistrikan yang sulit menyala, pendingin ruang yang bocor dan banyak kerusakan lainnya.
Melihat sejumlah fakta dan kejanggalan tersebut, tersiar kabar bahwa bus kota yang baru saja dibeli adalah barang bekas. Namun hal tersebut cepat-cepat dibantah oleh Udar Pristono. Ia mendapatkan informasi bahwa bus kota tersebut mengalami korosi atau pengkaratan selama proses pengapalan dari Shanghai menuju Jakarta, dan hal tersebut bisa diperbaiki dan diganti tanpa harus berlebihan dalam mengomentarinya.
Berbeda dengan Udar. Jokowi tidak terima dengan alasan dan bentuk tanggung jawab pembantunya di lapangan. Alasan tersebut dinilai tidak masuk akal dan terkesan mengada-ngada. Tepat pada Rabu (12/02/2014), nama Udar Pristono termasuk dari 33 pejabat pemprov DKI yang resmi mendapatkan perombakan jabatan. Ada dua alasan kuat yang meyakinkan Jokowi untuk tidak mempertahankan posisi Udar Pristono.
Pertama adalah kesan bus bekas dan selanjutnya adalah laporan kerusakan yang terlambat datang ke Jokowi secara formal. Ia malah mendengar kasus tersebut dari media.
Kesan bus bekas adalah sesuatu yang akan berpotensi menjadi bumerang terhadap kekuasaan Jokowi. Anggaran DKI yang begitu besar akan menjadi pertanyaan besar di benak publik, bagaimana dengan jumlahnya yang fantastis masih tergoda dengan hal-hal yang bekas, apalagi bekas tersebut terlihat tidak layak pakai. Sebagai pengambil keputusan tertinggi, tentu Jokowi tidak mau disalahkan. Ia meminta pertanggungjawaban anak buahnya, terutama Udar Pristono sebagai kepala dinas terkait.
Kedua adalah keterlambatan seorang bawahan dalam memberi kabar. Terutama kabar yang bernada kekurangan. Jokowi menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang tidak menerima laporan ABS (asal bapak senang).
Dalam sambutan pelantikan 33 pejabat eselon II tersebut, Jokowi berpesan kepada mereka agar tidak melaporkan hal-hal yang bernada baik-baik saja, semu, basa-basi, karena hal tersebut akan dapat menunda pelayanan terhadap masyarakat. Alih-alih program pemerintah berjalan dengan baik, melainkan merusak cita-cita dan harapan warga DKI khususnya.
Secara teknis, mungkin kasus tersebut bukan tanggung jawab seorang Udar Pristono. Namun karena proses tender dan pengadaan bus kota tersebut berasal dari dinas yang dipegangnya, maka sebagai seorang pemimpin level middle harus mempertanggungjawabkannya kepada top leader.
Sementara itu, top level harus mempertanggungjawabkan kepada pengguna jasanya secara keseluruhan. Karena sebagian besar customer atau publik DKI Jakarta tidak pernah ingin tahu-menahu, kendala awal atau bau busuk muncul dari mana.
Oleh karena itu, dalam sistem kepemimpinan mana pun, jika anak buah yang bermasalah, maka sebagai pemimpin harus mempertanggungjawabkannya. Meskipun terkadang pemimpin tersebut, tidak tahu-menahu secara persis, bagaimana kasus tersebut tiba-tiba muncul, tapi yang jelas hal tersebut dianggap menjadi bagiannya dari kekhilafannya dalam mengontrol.
Udar Pristono mempertanggungjawabkan hal tersebut. Ia menerima dengan legowo proses mutasi jabatan tersebut dari kepala dinas perhubungan menuju tim gubernur untuk percepatan pembangunan (TGUPP).
Sementara itu, Jokowi pun mempertanggungjawabkan kasus tersebut dengan memindahkan jabatan seorang Udar Pristono dan terus berusaha membenahi budaya dan manajemen kerja yang baik di lingkungan pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Dua orang tesebut sudah menunjukkan cara mereka memimpin. Siap dipilih dan siap untuk ditinggalkan. Permintaan untuk mundur, copot sudah tunai dilaksanakan. Sikap ksatria, ketegasan, keberanian dan sikap legowo sudah ditunjukkan dua pemimpin beda level tersebut. Meskipun jalan dan cara tersebut tidak menjamin segala sesuatunya menjadi lebih baik dan lebih jujur.
Dan sekarang tinggal bagaimana publik harus belajar, tidak selamanya kasus yang terjadi, dapat diselesaikan dengan cara menyeru dan menuntut pemimpin untuk mundur atau dicopot, akan tetapi cobalah melihat perspektif lain atau mengajukan formulasi kongkrit dalam menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara masing-masing yang dibenarkan, sehingga dinamika dalam pelayanan publik dapat terselesaikan dengan cepat dan baik.
Memang benar segala sesuatu dalam public service adalah tanggung jawab pemerintah, tapi di balik pertanggungjawaban tersebut terdapat tanggung jawab kita sebagai publik dalam mendorong dan membantu di ranah-ranah yang mungkin berpotensi menjadi kealpaan seorang pemimpin.
Di sanalah cara kita (publik) membantu pemimpin di samping seruan mundur, copot, dan sebagainya.
Bukan hanya berteriak sakit, ketika kaki kita diinjak, tapi meminta kaki yang menginjak untuk diangkat dan meminta untuk diobati dengan cepat atau kita (korban) bersikap semampu kita untuk meredakan sakitnya kaki tersebut.
*Sekedar Opini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H