Lihat ke Halaman Asli

Sombong Positif: What We Learn from Arrogant (Sombong)?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13919200931639647519

Oleh:

M. Rodhi Aulia

Ditulis Minggu Pagi, 09 Februari 2014 dan diselesaikan pukul 11:01 WIB.

[caption id="attachment_321475" align="alignnone" width="607" caption="Sombong is your weapon, use it when you underestimate yourself, Sumber: netsains.net"][/caption]

Bila akhir-akhir ini, kita melihat salah satu kolom resonasi di harian Republika periode (08 Februari 2014), tentu kita melihat satu judul yang sangat menohok, yaitu sabar negatif. Sebuah kolom yang ditulis oleh wanita tangguh Asma Nadia. Ia mengatakan bahwa sabar harus dilakukan dengan profesional dan proporsional, bukan sabar yang selama ini kadung dipahami versi orang Indonesia. Begitupun dengan sombong. Adakalanya kita harus sombong.

Sombong, tinggi hati, belagu, dan sebagainya, adalah kata-kata kita sebagai makhluk sosial dalam menyimpulkan secuil tingkah laku seseorang. Seseorang yang kita anggap membuat dirinya ‘kelewat batas’ dalam menunjukkan sesuatu dan secara bersamaan ia merendahkan harga diri seseorang lainnya.

Dalam literasi timur tengah, sombong juga diartikan sebagai membesar-besarkan diri dan sebagainya. Sehingga dengan sikap demikian, sebagian besar dari kita menganggap sombong adalah prilaku destruktif dan sebagainya. Apalagi kita yang mungkin hanya sebagai penontondan merasa diri tak berdaya memunculkan diri layaknya mereka yang sombong membesar-besarkan pengaruh mereka.

Pernahkah kita melihat sombong dari sudut pandang lain. Sudut pandang yang tidak biasa diperhatikan banyak orang di sekitar kita. Disamping tuhan melarang sikap sombong, namun bila ditelisik lebih jauh sombong ternyata berguna. Kalau korupsi kita mengenal bahaya laten, namun sombong juga memiliki anugerah laten. Terutama bagi mereka yang masih menganggap diri mereka lemah (underestimate).

Mereka yang melihat dalam dirinya seperti tidak ada hal yang bisa diolah dan dibanggakan. Maka tidak heran, sepanjang usia kehidupan, mereka hanya bisa mengeluh dan menganggap orang lain yang bangga dengan apa yang mereka bisa disebut sombong, cari muka, angkuh, arogan dan sebagainya.

Lagi-lagi kita perlu mengingat, bahwa kita sebagai manusia pasti memiliki kelebihan masing-masing. Tak perduli kita lahir dimana, sekolah dimana, saudaranya siapa, warna kulit kita apa, kinclong atau kesiram oli bekas, hal demikian bukan tolak ukur atau prasyaratbagaimana kita bisa bangga dengan diri sendiri. Sejatinya, pandangan kita harus jauh melampaui hal-hal yang tidak perlu itu.

Seperti mereka yang tidak memiliki keberanian dan kejujuran melihat potensi yang membara dalam diri mereka. Mereka yang porsi malu-malunya lebih besar. Sikap malu yang bukan pada tempatnya. Bukan malu, tapi (malu-maluin).

Bila mereka diberi challenges atau tantangan apapun, mereka lebih dahulu melambaikan tangan kepada kamera, yang menandakan mereka menyerah sebelum mencoba, atau tidak mencobanya lama dengan segenap kemampuan mereka.

Sementara itu, ketika mereka melihat pihak lain yang terlihat bersemangat mencoba, meski terkadang terlihat berlebihan, mereka dengan tanpa beban menyatakan bahwa pihak lain tersebut adalah pelaku sombong akut dan sebagainya. Artinya mereka masih terjangkit krisis rendah diri atau krisis percaya diri (lower confidence) dan susah melihat orang lain bersemangat akan kemampuannya.

Disinilah sikap sombong itu diperlukan. Terutama bagi para penganut malu-malu atau rendah diri bukan pada tempatnya. Rasa sombong yang selama ini mereka benci, seharusnya menjadi senjata mereka untukmeng-upgrade krisis percaya diri yang selalu melanda perasaan dan pola pikir mereka.

Memanas-manaskan diri dengan sikap sombong, sehingga krisis kepercayaan diri mereka bisa tergusur dan digantikan dengan rasa percaya diri yang penuh, dan pada akhirnya, mereka akan terus menyadari bahwa mereka mampu dan mampu dalam melakukan sesuatu, terutama yang menjadi passion-nya masing-masing.

Bila kita telah memahami ini, tentunya sombong tidak selamanya sikap yang destruktif, kontraduktif, tercela atau apapun julukan yang sering disangkutpautkan dengannya. Lebih dari itu, sombong bisa menjadi senjata ampuh untuk bisa kembali percaya diri. Tentunya dengan proses membesar-besarkan diri dalam tahap yang masih dianggap wajar dan proporsional.

Karena sombong adalah sikap yang bermula dari hati. Bila hati kita tidak pernah berniat untuk sombong seperti apa yang dilihat oleh orang luar diri kita, tentu sombong tersebut masih dalam koridor yang sebenarnya.Sombong yang profesional dan memahami porsi-porsi wajarnya (porporsional).

Pada akhirnya biarlah orang lain menganggap diri kita sombong, padahal niat kita sebenarnya bukan kesana, melainkan sombong yang sedang kita lakukan adalah proses (upgrading) atau memanasi mesin-mesin kemampuan dan memperbaiki perangkat kepercayaan diri sehingga bisa bekerja dengan maksimal.

Dari (lower confidence) menuju (higher confidence). Maka bila sombong dilakukan untuk hal seperti itu, tentu bukan lagi tercela, tapi senjata ampuh mengentaskan sikap malu-malu yang bukan pada tempatnya.

*ditulis selama satu jam 7 min (10:00-11:07) dengan soundtrack Peterpan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline