Oleh:
M. R. Aulia
Ditulis Jumat pagi, beberapa menit setelah Konferensi Anas, 10:39 WIB, 10/01/2014
[caption id="attachment_314940" align="alignnone" width="631" caption="Anas Urbaningrum, Sumber : www.voaindonesia.com"][/caption]
Setiap hari kita selalu disuguhkan dengan banyak kasus. Kejadian paling sederhana sampai kejadian luar biasa. Salah satunya korupsi. Setiap hari, atau setidaknya sekali sebulan, selalu ada orang hebat Indonesia yang diciduk oleh komisi yang berwenang menangkap mereka. Jumlah penyidiknya yang relatif sedikit, namun prestasinya sangat luar biasa. Mulai dari penjahat kerah biru hingga penjahat kerah putih. Dari yang memiliki penampilan sangar sampai kepada wajah yang sendu, polos, lugu dan sebagainya. Berhasil diringkus, terkadang di waktu yang sangat tepat.
Setiap itu pula, kita sebagai publik pemerhati dan pendengar suatu kasus bereaksi. Mencecar tanpa ampun, bingung karena terlalu banyak kabar yang berbeda, bahkan ada juga yang sudah acuh tak acuh karena sudah kebal dengan kasus korupsi di Indonesia. Sampai kapan ini harus terjadi. Penangkapan demi penangkapan terus dilakukan. Sementara korupsi tetap berjalan sebagaimana mestinya. Efek jera yang selama ini dilakukan sepertinya belum menunjukan hasil dan performa yang baik.
Tertangkapnya seseorang, biasanya mengawali suatu kejadian, yang sebenarnya tidak kalah seru dengan kasus yang akan muncul setelah itu. Apalagi di tahun politik. Penangkapan banyak orang politik, terkadang memiliki kesan khusus dibandingkan tertangkapnya kalangan non politisi. Penuh dengan siaran yang mendayu-dayu. Drama ketegangan antara komisi yang berwenang, dan target sasaran. Begitupun drama pendukung di antara keduanya. Berpolemik sesuai dengan pengetahuan masing-masing, yang memiliki kebenaran masing-masing pula.
Tahun 2014 yang katanya tahun pesta politik, selalu memanas. Entah siapa yang membuat suhu menjadi panas. Para petarung atau mereka yang tidak menjadi pertarung secara langsung. Dipanaskan dengan bahan bakar masing-masing. Salah satu bahan dasar memanaskan suhu adalah terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan satu orang aktor utama, dua orang, tiga orang dan selanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, petarung demi petarung langsung dari politisi sedikit demi sedikit berguguran. Ironisnya, petarung yang terjerat korupsi adalah mereka yang berwajah santai dan tidak terkesan sebagai wajah penjahat. Mereka pun sepertinya terlihat santai seperti tanpa beban. Tidak seperti mereka yang sedang ditimpa puing-puing kehancuran. Baik kehancuran nama baik, karir, kenyamanan dan sebagainya.
Sementara itu, komisi berwenang sudah memasang wajah menakutkan. Ancam-mengancam dengan kewenangan legal yang mereka miliki. Segala kekuatan luar biasa telah mereka miliki. Terlebih dukungan publik akan meluas dengan begitu masifnya. Wajar saja lembaga yang dimiliki oleh negara dan selalu menjadi media darling.
Salah satu, kelebihan berdemokrasi terpancar dari sini. Semua orang memiliki keberanian berteriak lantang, menyalahkan, atau mendukung salah satu diantara mereka. Baik komisi maupun tersangka koruptor.
Berguguran karena kekuatan petarung tidak langsung. Mereka yang sebenarnya memiliki andil, namun tak pernah terlihat wujud definitifnya. Wajah mereka terlihat sama, sama seperti massa pada umumnya.
Puntung pemantik api, jatuh di salah satu tempat. Semakin kencang angin berhembus, semakin besar pula lahan yang akan terbakar. Mungkin seperti ini pula yang terjadi dalam dunia penuh kebebasan. Suatu kasus menjadi fenomenal, dikala poeple power bergerak melalui media-media yang mereka kuasai. Sehingga, keputusan demi keputusan akan sesuatu berdasarkan suara terintens dan terbanyak, tanpa menjamin bahwa hal demikian adalah benar sejati.
Sejatinya, koruptor demi koruptor yang tertangkap adalah alarm bagi kita semua. Kita yang masih bergerak santai dan cenderung curang, harus menghentikan itu semua. Boleh jadi kita tertawa terbahak-bahak, dan menyalahkan tanpa ampun para koruptor yang tertangkap. Tapi siapa sangka, bisa jadi kita salah satu diantara mereka yang akan menjadi badut di kemudian hari.
Kita berhak menyesalkan tindakan menyimpang yang dilakukan oleh mereka yang sudah tertangkap, namun bersikap demikian saja tidaklah cukup. Kita sebagai apapun dan dimanapun posisi kita berada, tentu harus mencoba berlaku benar dan tidak cenderung menyimpang. Contoh sederahananya, aktifis harus jujur dengan LPJ keuangannya, kasir harus jujur dengan majikannya, pegawai harus jujur dengan bosnya, dan sebagainya.
Iniah yang sebenarnya ingin ditunjukan Sang Maha Kuasa kepada kita. Kasus mereka adalah pelajaran bagi kita. Bagi mereka yang mampu berpikir kenapa semua harus terjadi. (Afala Yanzuruna Ilal Ibili Kaifa Khuliqat) Apakah kalian tidak memperhatikan, bagimana unta itu diciptakan) Alquran.
Tanpa mengurangi rasa respek yang luar biasa kepada komisi berwenang di negeri ini, saya berharap semoga KPK benar-benar melakukan tugasnya murni karena indikator pelanggaran yang valid.Tidak semata-mata karena desakan publik yang meluas. Atau karena pesan apapun. Dan KPK juga harus menjadi media darling dalam bidang pencegahan, kalau bisa alarm jarang atau tidak sempat dipencet, karena benar-benar tidak ada koruptor yang tertangkap lagi. Artinya pendidikan korupsi yang sedang digalakan berhasil merasuki mindset generasi muda calon penerus bangsa.
Begitupun bagi tersangka. Tak perlu harus takut menginjakan kaki di lantai KPK. Bila memang tidak melakukan kesalahan, lebih baik berani melangkah. Datang menghampiri gedung KPK tanpa dijemput Brimob bersenjata, seperti pengakuan Anas Urbaningrum. Kalaupun harus dipaksa bersalah, sedangkan masih juga tidak merasa bersalah, mati di gedung KPK adalah sebuah kehormatan.
Let’s We Try...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H