Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Presiden, Indonesia Jadi Negara Kerajaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389242364784609149

Oleh:

M. R. Aulia

Ditulis Kamis Pagi, 09 Januari 2014, dan diselesaikan pukul 10:53 WIB.

[caption id="attachment_314791" align="alignnone" width="627" caption="Ilustrasi: Jokowi Bak Seorang Raja Indonesia Modern, Sumber: tribunnews.com"][/caption]

Dalam sebuah tayangan Mata Najwa yang bertemakan teropong politik, 08/01/2014, saya baru saja mendengar, usulan perubahan sebuah negara yang sedang dibangun melalui toolsdemokrasi. Indonesia yang sedang diuji kekuatan berdemokrasi mendapatkan pandangan yang justru berseberangan.

Beberapa narasumber, di antaranyaJaya Suprana dan Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjomengungkapkan ide perubahan sistem negara, meskipun terkesan tidak serius. Dari sebuah cara bernegara dan berbangsa dengan demokrasi menuju monarki state. Negara yang dipimpin oleh seorang raja dan dibantu oleh perdana menteri serta awak lainnya.

Jaya Suprana misalnya, membayangkan kelak, bila Indonesia benar-benar dipimpin oleh Jokowi, ia berharap Jokowi menjadi seorang presiden terus-menerus. Sebuah usulan yang sepintas terlihat menarik. Ia beralasan bahwa sistem politik negara ini dinilai terlalu mahal. Sering membebani seluruh petarung yang dinamakan ongkos demokrasi. Buang-buang waktu, bila benar-benar Jokowi resmi dicalonkan sebagai presiden. Ditegaskan pula oleh Mbah Tedjo, dengan mengusulkan Jokowi sebagai raja.

Artinya mereka berdua menganggap bahwa sistem demokrasi yang sedang dibenahi belum berhasil menjawab impian publik secara luas. Harapan-harapan besar yang selama ini dijadikan komoditas politik menjelang pemilu sering terjadi. Publik terbuai dengan mimpi-mimpi besar, hanya ketika mendekati pesta lima tahunan. Sementara itu, bila waktu pesta berakhir, dan berlalu, harapan besar tinggal menjadi kenangan.

Publik yang sudah kadung termakan dengan harapan menanti dijawab oleh sang pemberi harapan. Mereka adalah politisi-politisi yang kadang kala maksud harapan yang disampaikan oleh mereka salah ditafsirkan oleh publik. Terutama publik yang belum mengerti tugas dari seorang presiden, atau tugas dari legislator. Begitu banyak ragam orang yang mencalonkan, sehingga masing-masing mereka ada sebagian yang terpilih, tidak menjamin tujuan nasional dapat terjawab dengan cara kesepakatan sepihak saja.

Seperti halnya, seorang calon berkunjung ke daerah terisolir. Salah satunya jalanan yang belum di aspal. Sebagai calon, tentu sangat jeli melihat apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, target lumbung suaranya. Publik menyampaikan aspirasi tersebut kepada sang calon. Lalu, calon dengan tanpa ragu menjanjikan akan mengaspal jalanan tersebut bila kelak terpilih menjadi pemimpin. Sayangnya, hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Butuh pemikiran dan satu pemahaman akan sebuah prioritas antar elemen pemangku kebijakan sebuah negara.

Berbeda halnya, bila Indonesia kembali menggunakan sistem dahulu kala. Sistem kerajaan, layakanya Majapahit menguasai tanah yang belakangan menjadi sebuah negara modern yang bernama Indonesia.

Teori gelombang sejarah ketiga yang dihembuskan oleh Anis Matta (2013), bahwa kaum muda sekarang, yang disebut berpenduduk native demokrasi akan terganggu. Generasi muda yang sejak lahir, mengenal demokrasi adalah sistem mereka. Sistem yang menentukan kebenaran lebih didasari dari suara terbanyak dan ter-intens dihembuskan, bukan dari sebuah kebenaran sejati.

Alasan tersebut yang menjadikan Mbah Tedjo dan Jaya Suprana melontarkan isu perubahan dari demokrasi menuju negara kerajaan. Kerajaan adalah sistem yang bertumpu pada keputusan yang lebih dominan berdasarkan titah seorang raja. Terutama saat ini, di Indonesia terdapat seorang pemimpin yang tingkat elektabilitasnya tidak pernah menurun. Selalu menanjak drastis meski banyak pula hadangan yang berbaris di depannya. Jokowi yang sangat fenomenal dan tidak tertandingi. Meskipun ia adalah pendatang baru di belantika perpolitikan di negeri ini.

Rakyat mendapatkan simpati yang sangat besar, berkat gaya kepemimpinan yang jarang sekali diperagakan banyak pemimpin di negeri ini. Meskipun hal demikian banyak pula yang menganggap bahwa hal demikian hanya keberuntungan Jokowi saja yang kebetulan menjadi media darling. Jokowi dan beberapa rival yang lebih tinggi jam terbangnya terlihat tidak seimbang, bila merujuk dari hasil survei-survei elektabilitas seorang pemimpin.

Sehingga dengan asumsi tersebut, Jaya Suprana dan Mbah Tedjo, menganggap Jokowi bisa dijadikan sebagai cikal bakal raja Indonesia. Titah seorang raja yang biasanya tidak terbantahkan. Meskipun terkadang ada penyeimbang yaitu parlemen.

Tidak seperti sekarang, presiden selalu terbatas kewenangannya dengan model kepemimpinan sebuah negara yang diadopsi dari trias politica. Sebagaimana yang sering kita lihat, begitu banyak pertimbangan yang harus direnungkan oleh presiden sebelum mengeluarkan keputusan. Namun, ide sepintas ini mungkin tidak semudah mengucapkannya. Butuh perjalanan panjang dan pengukuran bagaimana jalan terbaiknya. Sehingga tujuan nasional sebagai bangsa yang sejahtera, adil, makmur dapat tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline