Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Menunda Nilai UAS Mahasiswa, Potret Buruk Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh:

M. R. Aulia

Ditulis Minggu Pagi, 23 Februari 2014 dan diselesaikan pukul 09:14 WIB.

[caption id="attachment_324147" align="alignnone" width="195" caption="Ilustrasi, Nilai juga Penting, meski bukan yang terpenting, sumber: rahmahuda.blogspot.com"][/caption]

Bagaimana esok bisa menjadi lebih baik, hasil hari ini saja masih disembunyikan.

Sebagian besar pelajar atau mahasiswa di Indonesia sering merasakan banyaknya penundaan. Terutama penundaan penerimaan hak untuk tahu cepat nilai ujian yang telah mereka lakukan dalam beberapa waktu yang telah mereka lewatkan.

Tidak jarang perguruan tinggi menjadikan penundaan nilai sebagai tradisi, meskipun dalam jargon, slogan, semboyan dan iklan kampus yang mereka buat dalam brosur kampus, profil kampus di website, kata-kata sambutan rektor, sangat ideal, bahkan nyaris sempurna. Akan tetapi dalam kenyataannya, tradisi penundaan nilai masih saja eksis dan nyaris tidak berubah karena dianggap hal yang lazim, biasa, lumrah, spele dan remeh-temeh.

Saat saya sedang berada dalam perjalanan Solo-Semarang, saya mendapatkan curhatan dari seorang mahasiswa aktif, ia mengeluhkan nilai-nilai UAS yang tidak kunjung keluar, meskipun pelaksanaan ujiannya sudah lama berlalu.

Menurutnya, ia dan teman-temannya sudah mencoba meminta kepada sejumlah pengajar untuk memberitahukan hasil evaluasi mata kuliah yang selama ini mereka jalankan. Sayangnya, para staf pengajar dengan mudahnya dan terkesan menolak untuk memberikan secara cepat, tentunya dengan alasan kesibukan dan sebagainya.

Penundaan nilai memang hal yang sangat spele, namun bila tradisi dan hal yang remeh-temeh ini terus dibiarkan maka implikasi yang akan dihasilkan akan lebih runyam. Bagaimana tidak, mahasiswa yang selama ini belajar dengan sungguh-sungguh, dan telah mengerjakan sejumlah rangkaian evaluasi, sangat berhak untuk mengetahui hasilnya.

Apakah usaha dan kesungguhan mereka selama ini berdampak progresif, grafiknya meningkat menjadi lebih baik, datar-datar saja atau sebaliknya. Sehingga bila sudah mengetahui, mereka bisa mengambil tindakan, introspeksi agar langkah kedepannya diperbaiki menjadi lebih baik.

Maka tidak heran bila anak didik (mahasiswa) selalu gagap ketika ditanyakan hasil belajarnya kepada atau oleh orang tua masing-masing, dan tidak heran pula mahasiswa tingkat akhir pada kelimpungan mondar-mandir mencari nilai mata kuliah yang diajarkan, entah pada semester berapa, saking lama dan kadaluarsanya.

Inilah yang jarang diperhatikan oleh staf pengajar atau mahasiswa itu sendiri. Staf pengajar seringkali menyepelekan hal tersebut. Padahal percepatan pemberitahuan hasil evaluasi anak didik atau mahasiswa sangat membantu dalam memberikan report apakah mereka berhasil dalam memahami materi dan semua bahan ajar yang disampaikan, atau tidak sama sekali.

Hasil evaluasi tidak semata-mata hanya menggambarkan keberhasilan seorang anak didik saja dalam memahami, namun juga keberhasilan staf pengajar dalam menyampaikan bahan ajar dan materi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung apakah berjalan dengan baik, sedang-sedang saja, atau asal-asalan.

Akan sia-sia bila mahasiswa berangkat dari kediaman masing-masing demi menghadiri ruang-ruang kelas untuk menerima materi dalam memahami suatu keilmuan, namun di samping itu hasil penilaian evaluasi tidak mereka dapatkan dengan segera. Akan sia-sia pula bagi seorang staf pengajar yang menunda nilai UAS anak didiknya, karena keberhasilan dalam membuat anak didik menjadi paham, mahir, pandai dan mencerdaskan anak bangsa tidak dapat dinilai dengan baik.

Sementara itu, tidak semua mahasiswa yang bersikap pro aktif dalam menunggu nilai mereka keluar, dan tidak semua staf pengajar suka menunda. Menjadi pertanyaan bila mahasiswa tidak menggunakan hak untuk tahu atas nilai mata kuliah yang mereka kerjakan, dan lebih memilih menggunakan hak untuk tahu atas pembangunan kampus yang berjalan lamban, harga cabai yang melambung, pemerintah yang dinilai tidak becus dalam membenahi negara dan isu-isu makro lainnya.

Sikap dan aksi untuk tahu hal-hal yang lebih makro memang salah satu tugas mahasiswa sebagai agent of change. Membantu masyarakat dalam menyuarakan keluhan dan segala bentuk hal-hal yang dirasa seperti penindasan dari penguasa. Namun, mahasiswa pun harus mengingat sebagai agent of change, mereka harus memupuk brand mereka sebagai mahasiswa secara individu (personal branding).

Apakah ia sebagai mahasiswa benar-benar memahami teori dan segala bentuk bahan ajar yang mereka terima dalam ruang-ruang kelas atau tidak. Bila mereka menyepelekan brand mereka sebagai mahasiswa secara personal, apa bedanya mereka dengan buih-buih lautan.

Mudah terombang-ambing dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Akan berbeda bila mereka secara pribadi sudah matang akan keilmuan masing-masing. Mereka dapat bergerak mandiri, meskipun kelompok mereka tercerai berai.

Oleh karena itu, staf pengajar, mahasiswa, dan stakeholder terkait harus bersinergi dalam menyelesaikan dan menghapuskan tradisi yang sangat tidak mendidik ini. Penundaan nilai atas dasar kesibukan dan sebagainya adalah sesuatu yang jauh dari kesan profesionalitas sebagai seorang staf pengajar.

Tentunya memberikan nilai secara objektif dan runut berdasarkan indikator penilaian yang sudah ditetapkan, bukan menggoreskan angka atau huruf nilai dengan emosional sesaat aja, tanpa bisa dibuktikan dan memahami track record anak didik itu sendiri dalam proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Bila tradisi ini dapat tergeser, maka rasa semangat belajar dan memahami akan suatu materi, bahan ajar tentang suatu keilmuan akan meningkat, dan akhirnya output yang dihasilkan akan sangat besar.

Melahirkan dan mencerdaskan anak-anak bangsa yang nantinya akan melanjutkan estafet perjuangan dalam mengharumkan nama bangsa. Tak hanya di bumi, melainkan di ruang angkasa sana memang benar-benar terlaksana. Tak hanya indah dalam visi dan misi saja, melainkan terasa nyata.

*hanya Tuhan yang paling tahu validitas tulisan ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline