Lihat ke Halaman Asli

Soal Sampah Visual: Publik Harus Tahu Konsekuensi Tahun Pemilu 2014

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh:

M. Rodhi Aulia

Saya termasuk orang yang mencoba memahami, setiap apa yang dilakukan baik secara langsung atau tidak langsung pasti ada konsekuensi logis yang harus diterima. Apalagi menjelang tahun pemilu. Tahun dimana para kandidat berebut simpati hati rakyat untuk dipilih atau yakin bahwa mereka memang layak dipilih dan diangkat menjadi pemimpin. Menjadi seseorang yang mampu membuat perubahan demi kesejahteraan umum. Suatu tujuan ideal dan seharusnya bagi siapapun untuk menjadi seorang pemimpin.

Konsekuensi tahun pemilu adalah maraknya pencitraan (personal branding) yang meliputi segala bentuk iklan personal demi meningkatkan elektabilitas dan pemahaman calon pemilih terhadap sang calon. Beragam cara yang dilakukan oleh mereka ditandai dengan menjamurnya spanduk-spanduk atau alat peraga kampanye atau istilahnya kasarnya sampah visual.

Iklan-iklan yang berlalu layang di layar kaca. Surat yang dikirimkan kepada guru-guru atau profesi lainnya dengan poto wajah sang akal calon. Berbagai bantuan dengan embel-embel sang calon dan sebagainya. Bantuan ambulan gratis, bantuan pembangunan rumah ibadah, bantuan kemanusiaan dan sebagainya.

Hal di atas sah-sah saja selama dilakukan dengan proporsional dan profesional. Personal branding atau pencitraan adalah hal yang wajar dilakukan siapapun dan apapun. Siapapun baik dari kalangan politisi maupun profesi manapun. Apapun baik benda atau sesuatu yang komersil atau apapun yang dijadikan sebagai bentuk layanan masyarakat. Semua dilakukan demi pemahaman bagi calon pengguna yang katanya anti memilih siapapun atau apapun seperti memilih kucing dalam karung.

Sehingga pencitraan atau bagaimana seseorang atau sesuatu lainnya dikenalkan dengan cara-cara yang atraktif. Maka tak heran hampir sebagian besar calon mengeluarkan budget lebih banyak untuk sekedar memperkenalkan diri agar lebih dekat dengan calon. Begitupun sesuatu produk komersil, perusahaannya lebih menaruh perhatian dengan alokasi budget lebih besar bahkan dari ongkos produksi sekalipun.

Hal ini tentu sudah dipahami oleh banyak orang. Namun ketika suatu pencitraan masuk dalam ranah politik, kenapa sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum dan dipahami dengan baik oleh sebagian besar orang diantara kita, mengapa selalu ada rasa skeptis dan kecurigaan yang berlebihan. Mengapa segala sesuatu yang tidak bisa terlepas dari asosiasi politis, selalu menjadi perbincangan yang selalu menarik. Menarik untuk digunjingkan tanpa memberikan pengarahan dan solusi yang clear agar pemahaman akan sesuatutidak kabur dan diharapkan dapat menjadi jelas.

Di samping itu, baliho-baliho yang dipasangkan oleh calon-calon baik secara langsung oleh mereka atau tim sukses masing-masing yang kerap dianggap sebagai sampah visual adalah konsekuensi logis agar tercipta calon-calon yang dapat dipahami secara benar track record sehingga menjadi jelas siapa yang akan maju, bagaimana visi-misinya dan sebagainya. Namun bila pemasangan baliho atau spanduk yang tidak pada tempatnya, seperti di tiang listrik, pepohonan, pagar-pagar dan sebagainya, dilarang keras, maka menjadi pertanyaan apa memang ada lahan atau space khusus yang benar-benar disediakan pemerintah terkait guna mempublikasikan para kandidat agar dikenal lebih baik oleh calon pemilih.

Sehingga para pecinta keindahan lingkungan atau seperti para reresik sampah visual dapat bertindak tegas, bila memang telah disediakan khusus oleh pihak berwenang dan sifatnya adil bagi semua kandidat. Akan tetapi bila tidak kunjung ada, atau tidak pernah disediakan secara adil, apa harus membersihkan, padahal baliho tersebut sedang jadi alat pengenal.

Pencitraan melalui media lain seperti iklan di media cetak, elektronik atau bahkan jejaring sosial mungkin hanya kalangan menengah ke atas saja atau kalangan yang lebih dominan hari-harinya stay di depan TV. Lalu bagaimana nasib para tuna wisma atau orang-orang yang sebagian besar menghabiskan waktunya di jalan. Tidak lain mereka hanya bisa melihat calon dengan spanduk-spanduk yang terpasang di sudut-sudut jalan strategis.

Pada akhirnya, personal branding atau pencitraan calon kandidat adalah keniscayaan yang memang tidak dapat terelakan. Kita semua atau mayoritas publik menginginkan keindahan kota atau lingkungan tempat dimana kita berada. Oleh karena itu, ribut-ribut akan menjamurnya sampah visual atau pencitraan menjelang pemilu kali ini (2014) dapat berkurang dalam pemilu mendatang pasca 2014, ketika kita yang menyukai keindahan dapat membuat formulasi atau alternatif sehingga fungsi membuat pemahaman komprehensif terhadap calon pemilih tidak terkesampingkan dan tetap berlanjur dan berjalan sesuai dengan fungsinya.

Seperti halnya kita makan demi perut kita yang bersuara. Suatu keniscayaan akan ada sampah bekas bahan masakan, piring kotor, aroma yang menyengat dan sebagainya. Begitu juga dengan pemilu. Ajang dimana para calon agar terpilih sehingga menggunakan segala cara agar dipahami dengan baik oleh calon pemilihnya. Tentunya semua harus dilakukan dengan praturan yang berlaku dan masyarakat juga harus cerdas mana pencitraan yang palsu, pencitraan yang dipaksakan, atau pencitraan yang memang kenyataannya begitu.

Ketika menghasilkan produk sebagus apapun pasti meninggalkan limbah. Apakah pemilu yang berkualitas pasti zero sampah visual? Pertanyakan dalam hati nurani masing-masing. Bila masih tetap ingin lingkungan tetap indah dan tidak merusak mata, lalu apa solusi kongkrit yang sudah ditawarkan terlebih dahulu selain himbauan secara lisan semata. Kalaupun sudah ada, apakah solusi atau ide kreatif lainnya memang sudah berjalan dengan baik. Menjadi pertanyaan buat kita semua?

Hanya tuhan yang mengetahui.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline